MENEMBUS TABIR GUNUNG-GUNUNG SUNDA PURBA
This world is not my home, I am just passing through
I have lived now I am dead to live again
magic words
Aku pernah berdiri tertegun memandang sekeliling danau misteri, menembus sekat membentur batas dinding-dinding pegunungan masa lampau. Tuk pertama kali, aku benar-benar takjub...
“Mungkin kita bisa beravontur menjelajah belantara indah itu...!?”
Pertanyaan hampir 8 tahun lalu pada seorang sahabat Pecinta Alam kampus yang dulu pernah menjadi suhu-ku dan yang sebenarnya sampai kini amat kukagumi pandangan-pandangannya tentang kehidupan seorang petualang sejati, terkuak kembali kala suatu hari membaca sebuah Bulletin Petualangan yang kini menjadi kitab suciku di jelang akhir tahun 2004...
Bertahun-tahun asa itu terpendam, tumbuh sahabat baru.., rekan-rekan muda petualang gunung! Jauh di lubuk hati, betapa indah bila niat menguak asa menjelajah magis pegunungan Sunda Purba kembali bersama sang suhu, dan demi persembahan termanis untuk keluarga tercinta.
Sementara, Sang Agung berkehendak lain...
Benk, remaja resah gunung tertakdir melaksanakan niat 8 tahun lalu bersama sahabat-sahabat baru almamaternya yang energik.
..... Tahun baru 2005 perjalanan dimulai.
Hey! Pegunungan Sunda Purba itu di mana sih??? Nyawa Utara Bandung itu...!!!’
Kalau kita menatap arah Utara Bandung, tentu akan melihat gunung Tangkuban Perahu yang melegenda, juga Burangrang yang selalu terindui, bagi siapapun Pecinta Alam daratan Bandung.
Pegunungan Sunda Purba adalah deretan gunung-gunung yang membentengi rentang alam kawasan Utara Bandung.
Gunung Tangkuban Perahu 2070 Mdpl, Gunung Wayang 1881 Mdpl, Gunung Sunda 1862 Mdpl, Gunung Leumeungan 1843 Mdpl, Gunung Pasir Limus 1825 Mdpl, Gunung Gedogan 1 1922 Mdpl, Gunung Gedogan 2 1870 Mdpl, Rocky 1, Rocky 2, Gunung Masigit 1884 Mdpl, Rocky 3, Gunung Pangukusan 1861 Mdpl, Puncak Semu 2046 Mdpl, Gunung Burangrang 2064 Mdpl, Rocky 4, Rocky 5, Gunung Gedogan 3 1926 Mdpl, Rocky 6.
Barisan dinding pegunungan letter ‘S’ inilah yang dikenal sebagai Kaldera Sunda Purba.
Bersuhu rata-rata 15º - 29ºC, dengan kelembaban udara 70 - 80%. Basah curah hujan biasanya terjadi pada bulan November - Maret, sedangkan kering kemarau terjadi antara bulan April - Oktober.
Pada Peta Jantop TNI AD tahun 1984 terletak di 106°48’28” wilayah Nusantara.
“Jadi yeuh ka Sunda Purba..?!”
Laki-laki mesti jadi friends!
Serem juga sih, naik turun hampir 20 puncakan gunung harus terkejar, sementara waktu yang tersedia tidaklah banyak lagi.
Bersama Norman Buluk, Alexander Piyik, Maha Gde Alit, Ogun Polo, Hendricus Odonk, Gupal Syamsu, Doleng O Lantang, serta dua rekan baru..
Kisah kecil petualangan terjejak!!!
Session I
Out bond reward from Tramontina... Sepertinya mudah menyatukan banyak persepsi, tapi kenyataannya tidak bila kita lupa satu hal..
Pergi bersama!
Sering kita mempertanyakan jati diri, jalan terbaik mencari jawabannya adalah pergi jauh sejauh-jauhnya, bila perlu hingga belantara Amazon di Brasilia!
Malam Tahun Baru 2005. Di kesejukan
7 putera dan 1 puteri Pecinta Alam kampus merintis jalur menanjak di antara kabut sisi Barat gunung Tangkuban Perahu. Aklimatisasi yang kurang menjadikan langkah-langkah yang terjejak terasa sesak. Mungkin karena adrenalin tubuh membuncah terbius asa petualangan anak muda. ....’ Akhirnya hanya dengan Hati, pendakian hampir 2 jam itu tertuntaskan!
Malam Tahun Baru 2005, 8 perintis itu menghabiskan malam di puncak Barat gunung Tangkuban Perahu, 2070 Mdpl.
Malam terasa datar-datar saja, mungkin petualangan sebenarnya belumlah ternyanyikan. Kecuali.....’
“Kang, kita dah 2x Tahun Baruan bareng di gunung...!”
Norman mengingatkan Benk kala tahun lalu sempat terseraduk-seraduk bersama di puncakan besar gunung Malabar, Selatan Bandung.
Takdir.. Man!
Esok hari, di hari pertama tahun 2005, langkah kaki berlanjut. Menuruni setengah puncakan Tangkuban Perahu, menyisir punggungan demi punggungan arah Utara... Target berikut adalah puncak gunung Wayang. Setengah perjalanan pagi tetap terasa datar, walau jauh di sisi kiri lintasan dapat terlihat hamparan air Situ Lembang nan asri. Salah satu surga tersembunyi Sunda Purba itu menjadi penanda jalur yang terlalui adalah benar sesuai orientasi
Memasuki siang hari, di antara keasyikan diri melangkah, jalur yang terlewati terasa membingungkan.
Jalur Utara yang semestinya dibelokkan sedikit ke arah Barat Laut malah melambung menuju Timur Laut. Setapak hutan yang ada, menghilang! Sungai Ciasem yang menjadi patokan benar-benar menjadi Asam yang menyengat asa petualangan... Sungai-sungai yang tak terpetakan membingungkan orientasi. Hampir tergoda jalur Timur Laut menuju daerah Subang, akhirnya reorientasi
Membidik jarum kompas meneguhkan derajat orientasi di antara tebalnya kabut senja membuat keadaan serba semu dalam menentukan jalur tebasan rimba yang ada. Suasana sedikit panik, hanya...’ Di situlah ruang sunyi manajerial kendala yang ada bagi setiap petualang tertuntut.
Neangan naon urang ka dieu yeuh, mun nyasab mah...?!
Bergerak dan berpikir jernih menjadi keharusan.
Membuka dan membuka kembali Peta Gunung yang ada, menghitung dan memprediksi perbekalan yang masih tersisa, menatap dan mendoakan segala yang masih ada di diri mulai secara sadar terlakukan..........!?’
Tipis...! Artinya, kondisi Pra Survival hutan gunung mulai mendekat ke nasib pendakian. Perbekalan makanan terpacking hanya untuk 2 hari perjalanan weekend, di jelang hari kedua telah tinggal tigaperempatnya lagi...’ Menjejak puncak-puncak yang mengelilingi Situ Lembang menjadi target yang masih jauh terealisasi, sementara waktu terus terhambat kondisi alam yang menyesatkan!
Tapi... Hati petualangan masihlah terpelihara!
Tramontina..., golok tebas asal
4 buah punggungan gunung terhitung terseberangi langkah siang hingga senja, sebelum pendakian menemukan jalur nyata menuju lembahan besar Hutan Larangan antara gunung Tangkuban Perahu dan gunung Wayang.
Jalur Tramontina tertinggalkan. Aghh...! Kelegaan itu hanyalah sebentar adanya, lagi-lagi jejak langkah membentur tembok. Jalur setapak hutan terputus, menghilang di antara belukar lebat yang mulai menghitam terselimut malam yang datang.
Relaksasi demi restart esok hari menjadi pilihan yang tepat kemudian. Malam itu, sebelum tidur menghampar di bawah kanopi hutan, diskusi kecil terlakukan. Momen penting! Orientasi Medan tertetapkan, esok hari, diri tak mau berlama-lama lagi tersesat. Si Norman mau sidang kelulusan kuliah lusa nanti!
Waktu merambat, pagipun menjelang.
Seremoni doa bersama, serta kicauan burung Hutan Larangan mengiringi keberangkatan. Belukar sesak yang menghadang langkah terasa mudah diterabas dengan energi baru. Dan.., 2 jam kemudian Tuhan bersama orang-orang berani! Ia menunjukkan jalan yang benar pada pendaki yang yang tak pernah menyerah pada ketersesatan... Sebuah setapak samar yang mengarah ke puncak dinding gunung Wayang terlihat mata. Tramontina yang tajam harus dimasukkan kembali ke kandangnya... Sregg!
Setengah jam mendaki di keterjalan jalur, keceriaan suasana siang di puncakan dinding Kaldera Sunda Purba yang menuju puncak gunung Wayang, tergapai langkah.. Arah Kompas menunjukkan Barat Laut, menambah keyakinan diri untuk terus menyisiri puncakan-puncakan dinding purba...
Dinding tipis yang kedua sisi lerengnya merupakan lembahan curam rimba raya Sunda Purba, membuat pendakian tertuntut kehatian-hatian yang tinggi. Beberapa saat menjejak, pemandangan Situ Lembang terlihat begitu magis di arah Selatan, terus menambah keyakinan akan jalur yang ada. Pasti dan meyakinkan semuanya kini.
Puncak gunung Wayang 1881 Mdpl terlampaui dalam 15 menit jejak langkah puncakan purba. Sedikit mentok tebing curam jalur putus di depan langkah, jejak kaki menyisir tebing kaldera sisi kiri...
Keyakinan, keasyikan, kekaguman, ketegangan petualangan
Tiba-tiba... Hey, ada tebing buolder...!’ Traversing, bergaya memanjat, sekedar mengurai ketegangan, mengambil gambar diri... Klik! Klak! Indah pisan senyum-senyum gunung tersebut. Alexander Piyik, Norman Buluk, Ogun Polo, Hendricus Odonk, Maha Gde Alit tergambar bertraversing. Ha ha, bebas euy...
Langkah kaki berlanjut, kembali melipir lereng dinding sisi kanan. Sebentar berikutnya menjejak jalur puncakan ke arah gunung Sunda.. Di antara ketegangan hati akibat tipisnya jalur puncakan, pemandangan Situ Lembang paling eksotis terlihat pandangan mata. Selama 25 menit perjalanan, puncak gunung Sunda 1862 Mdpl pun tergapai... Di puncak sunyi itu jejak taklah lama, terus mengitari jalur ke arah Barat, lintasan berliku naik turun menjadi menu puncakan dinding-dinding purba hingga setengah jam jejak kaki menggapai puncak gunung Leumeungan, 1843 Mdpl. Jalur terus berputar rotasi ke arah Barat Daya, pemandangan Situ Lembang dengan latar belakang Tangkuban Perahu yang megah amatlah mempesona dari jalur ini. Klik, klak, and... Hey, tunggu.....!
Hari menjelang sore ketika tujuan awal session pertama pendakian menuju akhirnya. Ke arah Selatan, sebuah pertigaan jalur sebelum puncak gunung Pasir Limus, menjadi titik akhir penyisiran dinding pegunungan Sunda Purba.
Jalur Lawang Angin yang ke Barat Laut adalah jalur ke Cihanjawar daerah Kabupaten Purwakarta, serta jalur Timur ke arah Situ Lembang, daerah Para Komando dan petualang negeri tercinta.
Jalur Timur menjadi pilihan langkah...
Indah nian sore hari di Situ Lembang. Berdiri tegak menatap sekeliling dinding kaldera purba, berputar hampir 360º membuat haru akan semua kenangan bertahun-tahun lalu bersama sang alam. Remaja resah gunung teringat masa lalu, sering tinggal sendirian malam-malam tertidur dalam hutan belantara Situ Lembang, termagis kala dulu belajar menumbuhkan keberanian, mengasah ilmu survival & navigasi, belajar trap petualangan di Situ Lembang nan misteri.
Paramuda petualang negeri telah menuntaskan separuh kecil pendakian rintisan puncak-puncak Gunung Sunda Purba. Jalur Session I ini memberi kesan dalam tentang keindahan petualangan negeri yang harus terus tercari. Demi jejak cerita anak negeri terindah, demi jati diri petualang negeri tercinta.
Cinta Tanah Air...???
Session II
Rasa takut dalam petualangan alam terbuka sebenarnya diperlukan, perlu untuk memanage rasa diri yang tumbuh menghadapi rintangan. Rasa berani dalam petualangan alam terbuka menjadi suatu keharusan, harus demi mengimbangi rasa takut yang alami.
Bagaimana mengatur ke dua rasa itulah yang menjadi inti persoalan. Amatlah naïf jika seorang petualang kehilangan rasa tersebut.
Jurang dalam menganga, tebing tegak menjulang, belantara lebat menyesakkan! Negeri ini menunggu, menunggu para pencari, pencari kehidupan! Penembus, penembus kerinduan!
Jalur ini adalah jalur hidup mati! Jalur kenangan badai hati rasa petualangan yang
Terdedikasikan khusus untuk mereka yang tak pernah menyerah berpetualang.
Sebulan setelah pendakian session pertama Pegunungan Sunda Purba awal tahun 2005, hati remaja resah gunung terus ‘terganggu’. Entah apa, mungkin Takdir! Itu cukup. Waktu berpetualang yang terbatas kewajiban kerja di dunia industri Tekstil yang semakin terpuruk, tak membuatnya ikut terpuruk nasib!
Rekan berpetualang gunung masihlah ada, bersama Hendricus Odonk serta Ogun Polo, keputusan melanjutkan jejak petualangan di jalur tipis dinding panjang barisan gunung-gunung Sunda Purba terepisode kembali.
Start awal beranjak dari jalur akhir Session I. Melangkah menyusuri jalur makadam tanah berbatu Situ Lembang, pukul 10 pagi ayunan langkah kaki terjejak. Situ Lembang terlihat tenang menyambut petualang yang kembali. Beberapa kuntum bunga Mawar Hutan melambai-lambai menghias keceriaan hari.
“Ke mana yang lain? Kenapa cuma bertiga?” tanya sang Situ yang telah banyak melahirkan Para Komando tentara sejati negeri ini.
Takdir friend... Itu cukup?’
Arah Barat dari Situ Lembang menuju puncakan gunung Pasir Limus. Arah jarum kompas cepat berubah mengikuti kontur dinding purba menuju Selatan. Jalur terus menanjak terjal, membuat diri yang hanya punya sedikit waktu aklimatisasi terhenyak-henyak... Leuleus! Remaja resah gunung itupun memanggil hatinya...!’ Ia harus memelihara kenikmatan berpetualang yang masih terberi... Pendakian berlanjut dengan hati yang tak lagi terluka. Puncak gunung Pasir Limus 1825 Mdpl terjejak dalam 45 menit pendakian terjal.
Session 2 ini menarget puncak Burangrang sebagai patokan akhir.. 3 pendaki melewati jalur puncakan dinding tipis berbelukar sesak, terus menjejak ke arah Barat Daya menuju Puncak Gedogan [Kandang Kuda] 1, 1922 Mdpl. Duh sesaknya.., tebasan-tebasan golok tebas menjadi cara terampuh menembus jalur belukar yang serasa tak ada habis-habisnya... Tak terasa, tiba-tiba gelap senja menyadarkan diri untuk relaksasi, tetapi keadaan kontur
Sumber air...?’ Tak ada!
Pada jalur yang ada terpaksa diri harus tertidur. Pada mimpi-mimpi yang tercari jiwa terbius angan... Dan akhirnya, kelelahan pendakian jalur terabas menolong diri yang terlelap nyenyak belantara.
Pagi terbangun... Suasana hari nan indah dengan kicauan burung-burung hutan bernyanyi. Harmonic moment! Sementara, puncak gunung Gedogan 1 menunggu jejak sunyi... 2,5 jam pendakian terjal, jejak kaki menapak pada titik Knol puncak sunyi. Di sekitar puncak Gedogan 1, ada dua jalur semu yang terjejak mata, satu ke arah Barat Laut menuju gunung Gedogan 2, satu lagi ke arah Selatan menuju Rocky 1 dan 2 terus ke puncak gunung Masigit.
Jalur puncakan dinding purba ke arah Selatan menjadi jejak kaki berikutnya siang hari. Dalam perjalanan, pemandangan Situ Lembang di arah Timur Laut, kembali mempesonakan jiwa para pendaki pegunungan Sunda Purba.
Remaja resah gunung itu berhenti sejenak menikmati semua keindahan alam yang terhampar. Di arah Timur, jalur makadam Situ Lembang dengan lereng-lereng Pinus, perkebunan Teh dan sayur-mayur di lereng-lereng Tangkuban Perahu mewarnai pesona magis alam Sunda Purba. Sementara di arah Barat, hening kedalaman lembah Ciherang nan curam, menggali perasaan terdalam rasa petualangan hutan gunung. Poek pisan di bawah
Setelah rasa puas hati keindahan alam terpenuhi, petualangan sunyi harus berlanjut... Tersenyum, Benk menatap lekat dua rekan pendaki mudanya. Tak banyak olah cakap dari keduanya sejak awal, mereka seperti tenggelam magis pesona lampau alam Sunda Purba.
Gerak langkah tegar benar-benar terlanjut. Jalur puncakan dinding purba semakin menipis, hanya setengah meteran jejak kaki dapat tertapak dengan baik,
Wuzzh!!! Angin kencang menerpa wajah keras yang ada, mencari tantangan berikut, adrenalin semakin mengeras mencari pemecahannya.
Go...! Go friends..!! 1 jam dari ketegangan awal itu, jalur terputus kembali, kali ini ngulak ngulik mencari
Haruskah pendakian turun, melipir ke sisi Timur? Buntu! Mundur ke belakang? Malu!! Turun ke sisi Barat, ke lembah dalam?’ Oke...!
Arah ‘peperangan’ hati petualangan telah terpilih. Peta Jantop TNI-AD 1984 hasil ngopy, menunjukkan kontur yang meyakinkan keadaan lembah ratusan meter di bawah puncakan rocky. Padahal...!?’ Kisah ‘anak hilang’ adanya!
Sreet...! Srretttz, Brugkkh!! Upphs!... Nyangkut di akar-akar pohon, nyaris terpelanting.. Tramontina, sang golok tebas keluar, tetapi percuma! Riskan euy.. Beusi nancep ka badan di
Pilihan telah diputuskan, jalur itu terteruskan hati yang mencari! Menuju kedalaman lembah..... Mudah-mudahan ada air, mudah-mudahan ada
Sudahlah semua tlah tertakdir...! 3 pendaki pun hinggap dan masuk ke kedalaman celah sempit kontur lembah yang terjepit 2 dinding batuan terjal!
Derr!! Derrr!!! .... Glegar petir kian mengganggu orientasi
Mana
Angin lembah menderu, kilat menyambar.... Glegarr! Krakkh...!! ... Bruggh!!! Longsoran kecil mulai terjadi di atas rocky. Alam hutan gunung sedang menunjukkan keperkasaannya.
Sebuah lemparan batu jatuh ke depan water fall... ditunggu beberapa saat...’ Sama sekali tak berbunyi, alias betapa dalamnya sang air menghunjam lembah bumi, membuat nyali benar-benar terluka. Tak ada jalan ke depan lagi. Tak ada tali untuk menuruni atau memanjati
Glegarrh..!! Sang Agung mengingatkan kembali, terduduk merenung menenangkan sedikit hati yang meresah.
Rest! Sebentar tak bisa lama! Hujan yang membesar membuat
Remaja resah gunung bersujud...
IKHLAS
Hamba-hamba Allah yang mencari kedekatan denganNya melalui amal yang Allah wajibkan atasnya, maka ia sungguh-sungguh menjadi dekat kepadaNya melalui amal saleh yang ikhlas, hingga Allah mencintainya.
Allah menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar, dan menjadi matanya yang dengannya ia melihat, dan menjadi lidahnya yang dengannya ia berbicara, dan menjadi tangannya yang dengannya ia memukul, memegang, menggapai. Bila ia menyeruKu, Aku menjawab, dan bila ia meminta dariKu sesuatu, Aku memberinya.
Gulam Reza Sultani for Imam Baqir
Petang menjelang senja, semua harus segera terputuskan! Antara terpaan kabut yang terpecah, tetes hujan menusuk raga!
Terjal dinding batu yang terturuni siang tadi menjadi pilihan yang tercari, coba meraih keberanian menaikinya kembali. Agak didorong ke arah kanan, mungkin bila jejak pemanjatan sampai ke atasnya akan melewati jalur buntu di atas tadi...’ Kalau tak ada jalur terusan ke kanan?! Mungkin mati! Itu saja! Sementara untuk berlama-lama di lembah sempit itu, mungkin kematian juga adanya. Pilih mana...!? Benk menatap tajam 2 rekan pendaki muda di hadapannya. Saling tersenyum, memberi isyarat ketangguhan mental. Hendricus Odonk dan Ogun Polo, keduanya sama seperti dirinya... Terbius sunyi alam yang menggila, namun raga yang masih bisa menggigil mulai terurai makna hidup yang mesti terhargai!
Mati-mati juga nantinya, Sang Agung kasih pilihan petualang resah untuk berusaha dulu!
Scrambling merayapi tebing setinggi 150 meteran, menambatkan nyawa di akar-akar pohon Cantigi, akar-akar Perdu, akar-akar Ilalang, Pandan hutan, Honje, dan kuasa Tuhan yang Agung! Tebing rocky berketinggian 150 meter benar-benar terjejaki ikhtiar cengkraman tangan, pijakan kaki dan jiwa pasrah diri.
Menunggu Hendricus Odonk menjejak, mencengkram, membelah, menembus, mencari dan merintis jalur..., sinyal Hand Phone menguat. Masih sempat remaja resah gunung berpesan pada sahabat.
‘Sampaikan salam maaf kami pada orang-orang yang pernah kenal’
Error Sending Message!... Alam sunyi kabut lembahan tetap mengurung keterbukaan hidup! [Mo mati, sendiri saja!].
Kembali menatap ke atas... Kabut terbang mengajarkan hati yang perlu lebih dikeraskan. Jangan cengeng dulu euy! Cengkraman jemari tangan yang menggigil terus mencari-cari celah keterjalan tebing... Pijakan kaki yang bergetar kukuh menahan-nahan beban kepasrahan tubuh... Menggapai hidup yang masih terberi!
Sedih bangeeet! Wajah ayah, bunda, keluarga dan teman-teman tercinta...... Mereka yang tercintai tak seharusnya pernah benar-benar pergi! Begitupun diri! ... Tekad terbulatkan!!!
Cengkraman tangan pada tebing terjal semakin terbatas waktu, menjelang malam membekukan bila belum sampai puncakan dinding, pastilah.... Aghhh! Mati!!! Who’s know!?’
Sebotol air di saku carriel, yang terambil dari dasar lembah terjatuh tak berbunyi ke jurang terdalam... Ogun Polo terhenyak!’
Ini mengharukan...
“Kang, saya turun deui wae ka lembah mencari air tadi...”
Remaja resah gunung melihat tatapan rasa berdosanya itu.
Fatal memang kekurangan air sementara target ke puncak belumlah tiba. Tapi nyawa saudara petualangan lebih penting! Lebih baik mati bersama kekurangan air daripada satu!
“Sudahlah, kapan-kapan kita cari air sebotol itu, bila....?!’” “Tapi kang...!?”
Rasa berdosa itu belumlah hilang.
“Lupakan air itu, kawan! Kita friend-kan?!” seru Benk meyakini.
Jejak kaki yang telah sedikit turun itu perlahan naik lagi.
Di atas ketinggian, awan hitam melayang terbang pecah memutih. Pemanjatan bebas penuh kepasrahan berlanjut. Terpaan angin kencang mengoyak tubuh-tubuh menggigil, cengkraman nyawa pada akar pohon mengeras, crash!... Putus!!
Sreett! Jatuh terseret gravitasi
Tercenung
Aku sering mengalami terduduk mangu memandang mentari pagi ufuk Timur
Pada puncak-puncak gunung tinggi, di suasana sunyi, disergap dingin udara dataran tinggi
Akupun sering mengalami tercenung, setengah duduk dari posisi bergantung, berlindung pada gigir tebing batu dan tanah
Tak sempat ke puncak tertinggi kemarin sore karena hari telah terlampau gelap
Tetapi demi bisa memandang sang mentari senja, aku sisakan keberanian dan semangat di antara lindungan akar-akar pohon yang tumbuh liar di ketinggian gigir tebing tegak menjulang...
Kadang akupun tak bisa mengerti langsung
Hanya sebuah kejelasan di hati akan hal itu
Aku rindu sebuah saat kedamaian
Dan itu ada ketika diri memandang sang mentari
Lagi, lagi dan lagi, akupun gundah bertanya
Akankah esok tetap bisa kembali menikmati engkau
Sang mentari, aku ingin disinari, aku ingin tumbuh, aku ingin bisa menyinari, ingin terus melihat sesuatu tumbuh, bersinar, terang berkilau.
Remaja resah gunung membenturkan kerut keningnya ke wajah tebing yang keras. Ogun Polo mengeratkan pijakan kaki menenangkan kepastian hati. Di atasnya, sang leader tangguh, Hendricus Odonk terus memburu jalur maut penuh belukar perdu, mencari pegangan-pegangan penyambung nyawa!
2 jam menegangkan waktu berlalu.
Hey ia memberi kabar..!?’ Banting ke kanan sedikit! Melipir teras besar, mencengkram ceruk kecil tempat nyawa tergantung! ...Hupps! Mengangkat tubuh lelah dengan maha terpaksa...!’ Teras atas terlampaui! Allahu Akbar, Adzan Maghrib terdengar sayu... Entahlah dari mana, saat cengkraman tangan terakhir di batas asa puncak tebing lembah Lost World itu tercapai. Allahu Akbar! Itu cukup!!! Sudahlah! Satu persatu 3 pendaki sunyi menembus batas tipis petualangan hidup dan mati.
Tangan remaja resah gunung tergerak memeluk kedua sahabat gunungnya.... Kita benar bersaudara kawan! 3 anak manusia berlinang air mata haru tertuai janji hidup baru... Milik kita!’ Memang!
Di lepas ujung senja, mereka berhasil melewati batas tipis hidup dan mati dengan kepasrahan pada Sang Agung! Menatap kembali kedalaman lembah arah Barat, ada rasa tak percaya memanjat dalam keadaan normal akan bisa terlakukan pada dinding terjal setinggi 150 meteran tersebut. Sampai nanti, ya hingga nanti rasanya!!!
HP tersentuh, dan Enter terpijit jemari menggigil.... Sent Message pesan suci saat menggantung nyawa, terbuka. Upzz!! Haru biru nyata adanya. Pendaki sunyi terdidik untuk ingat pada Sang Agung.
Oke kawan, malam tiba, di puncakan dinding tipis masih ada masalah.., tak ada
Tidur terikat pohon...!?
Menggali dan meratakan
Tak ada ruang gerak ideal di titik curam ketinggian rocky. Pada malam pekat berusaha terduduk menidurkan diri, tidur terguling dan merosot di tenda yang terbentang miring membeku! Hegh! Sedih, sedih dan sedih! Sulitnya mencari posisi ideal tubuh di kemiringan
Remaja resah gunung terbangun untuk kesekian kali, tergerak merenungi malam tertemani api lilin kecil... Nyala api terakhir dan lelehan lilin yang mencair menyentuh kulit tangannya, radiasi panasnya sudah tak terasakan lagi! Hatinya membeku... Dan, ia damai, ia bahagia.
Sungguh! Walau tak ada bintang menyinari, tak ada rembulan berpurnama. Jiwa tersunyi, sungguh tak perlu saat itu! Ia hanya butuh keberanian yang hilang di senja hari!
Tuhan bersama orang-orang berani!!!
“... (yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram”
Ar Ra’d : 28 Firman Allah
Demi waktu! Sinar mentari pagi muncul dari balik puncak datar Tangkuban Perahu. Magisnya memperlihatkan ruang alam untuk jejak petualangan selanjutnya di hari ketiga session 2 tersebut. Namun target awal puncak Burangrang telah gagal sepertinya, tak cukup waktu mengejarnya, Benk harus segera kerja kembali di rimba
Siang hari, dengan bara api mental adventur yang tersisa, masih sempat jejak kaki menyusuri arah Selatan meneruskan langkah terabas jalur menuju lereng gunung Masigit. Sebelum sampai, di batas lembahan, sore hari membanting arah ke Timur, menerabas hutan menembus jalur ke arah jalan Makadam.
Remaja resah gunung mengarah pulang dengan menatap puncakan Masigit, Rocky 3 dan puncak Pangukusan serta tebing Utara Burangrang yang tipis tertutup kabut! Hati sedih sekaligus membara. Jalur-jalur pendakian tipis, naik turun puncak-puncak gunung, lembah-lembah curam berganti, semakin membius api petualangan hati yang tertunda.
Orang yang pernah bahkan sering ke Situ Lembang mungkin tak pernah mengira bahwa di sisi-sisi Barat dinding tipis jalur makadam, di baliknya terdapat sudut lembah ‘Lost World’ dengan water fall sunyi penuh misteri menakjubkan...
Hujan tiba-tiba di panas hari telah usai merintik, Cacing Sundari banyak keluar dari lubang-lubang tanah makadam Situ Lembang. Cacing-cacing hutan raksasa sebesar jempol kaki, sepanjang 15 - 50 Cm tersebut seakan ingin menyaksi... Menyaksi kegembiraan rasa petualangan 3 pendaki, membayangkan 1 episode menegangkan petualangan gunung Sunda Purba dari warung kecil area Gudang Seng...
Benk menatap 2 sahabat pendakian... Mereka, anak-anak muda tangguh itu tersenyum tulus. Begitu tulus... Seekor Anjing kampung diberikannya makanan, terlahap seketika. Gukkh!
Tuhan telah memberi hidup lagi pada kita. Kita harus kembali kawan!... Soon!’
Remaja resah gunung berucap seraya menyalami sahabat pendakiannya dengan erat.
Berderet bertiga, kaki-kaki tegar melangkah pasti dengan carriel di punggung. Butuh waktu lama mencapai ketegaran itu. Dan niat hati tetap mencari!
Session III
Jalur ini jalur yang memberi makna dalam untuk diri, makna tentang rasa membalas kepenasaran dan terbalas kepenasaran, makna tentang mencari keberanian yang hilang dan memelihara kepercayaan diri yang tumbuh, juga makna tentang kehilangan seorang sahabat, walau hanya 1/2 jam!
Orang-orang yang tercintai
Mereka takkan pernah benar-benar pergi
Tidur bersama 2 lembar Peta Gunung [Jantop & AMS] benar-benar membuat Benk makin menggilai episode lanjutan penelusuran gunung-gunung Sunda Purba. Aya naon sih...?! Rada hese’ ngajawabna.
BECAUSE IT’S THERE.
Pendaki-pendaki ulung seperti Sir George F. Mallory, Walter Bonatti, Edmun Hillary, Jerzy Kukuzcka, Reinhold Messner atau Norman Edwin-pun kadang sulit menjawabnya, apalagi remaja resah gunung yang masih Mencari!
‘Lebih baik kupilih ini, ini pemberian Tuhan padaku, saat dulu menggantung nasib di puncak Mahameru, 1995’.
Benk menerawang...
‘Jika aku pergi ke
Mungkin karena aku merasa mencari
Jika aku abadi di
Karena aku takkan pernah merasa sendiri’
Libur April 2005, satu-satu sahabat pendakian pergi bersama sibuknya masing-masing. Tetapi tumbuh sahabat baru. Teridentifikasi sebagai Gupal Syamsu dan Doleng O Lantang.
Session ke 3 termulai dari titik terakhir pendakian session 2, celah lembahan antara Rocky 2 dan gunung Masigit. Persiapan lebih difokuskan, 2 buah golok tebas Tramontina tersedia, tajam adanya...
Target utama menguak lembah sunyi Ciherang sekaligus mencari titik dasar water fall misteri lembah Lost Word.
Kumaha sih mun ditingali ti handap eta curug.., penasaran euy! Plus tetap menembus puncak Burangrang lewat jalur puncakan dinding-dinding kaldera Sunda Purba arah Utara.
Sabtu pagi yang cerah mengantar keberangkatan diri. Gudang Seng, area pertengahan jalur makadam Situ Lembang jadi persinggahan kaki sebentar...
Ok, kita mulai!
Melangkahi jalur setapak di tengah perkebunan penduduk, menembus semak Ilalang gunung, titik orientasi tertetapkan.
Arah Barat! Pokokna mah Barat, kalaupun nyasar pasti tembus ka puncakan dinding kaldera, asal ntong kaleuwihan aja.. Bahaya, jurang dalam di seberang bawah
“Siap...!” Ok.
Tramontina terhunus, tali-tali sepatu dikencangkan. Pembelajaran bersama termulai lagi. Doleng O Lantang siap menjadi Leader Navigasi... Nebas jalur. Crash, cresh!! ... Semangat 45! Cukup cerdas untuk memilih jalur mendaki, melipir ke kanan atau ke kiri, kembali ke arah orientasi.
2½ jam terlalui, jalur terabas belukar hutan itu, tuntas. Satu dua tanda mata goresan belukar tertatto di lengan-lengan! Perih, tapi itu resiko petualang!
Puncak kaldera dinding tertembus, di depannya...’ Lembah Ciherang ratusan meter dalamnya... Doleng O Lantang berteriak, ”Tembus!”
Kepercayaan diri tumbuh seketika. Ya sudah, ‘Kapitan’ Doleng di depan terus menebas! Seru Benk memotivasi.
Bernavigasi di hutan gunung... Ya, harus berani mencoba! Mengambil pilihan!! Tembus atau Nyasar... Akan terasa berbeda rasa di jiwa, bila pendaki mau mencoba belajar menerabas jalur petualangan......
Kita hanya perlu nyanyian Arah Mata Angin! Timur – Tenggara – Selatan – Barat Daya – Barat – Barat Laut – Utara – Timur Laut. Sebagai basic Peta Mental…. Pilih lokasi yang pernah kita kenal. Tentukan titik-titik urgent yang mudah diingat, dikenal, dijejaki. Kenakan sepatu gunung, pakaian gunung, topi rimba, dan golok tebas! Tentu saja plus Kompas dan Peta!
Selama
Waktu terus merambat di jejak sunyi. Dengan rasa kepercayaan diri...
Jalur dibelokkan ke kiri, arah Selatan, menjejak puncakan dinding purba menuju 1 puncakan... Dalam hitungan menit, Top puncakan Masigit 1884 Mdpl tertembus angan. Sebuah puncak rocky kecil yang menegangkan sekaligus merindukan! Wajah sisi Baratnya merupakan tebing rocky tegak lurus ratusan meter ke dasar lembah. Sekeliling arah memandang, lukisan alam Sunda Purba terlengkap ada di puncak Masigit [Masjid] ini.
Deretan gunung-gunung purba letter ‘S’ dengan 2 lembah raksasa, Situ Lembang dan Ciherang begitu magis menampilkan pesona belantara masa lampau...
Jalur turun dari puncak Masigit merupakan jalur menawan sekaligus menegangkan! Menemui puncak Rocky 3, disusul jalur dinding tipis berbatu-batu terjal ditumbuhi bunga-bunga gunung pohon Eidelweiss penyemangat hati.
Dari ketinggian dinding purba, di sebelah Timur terlihat eksotisme jalan makadam Situ Lembang yang mengular, puncakan-puncakan lain gunung Sunda Purba terlihat anggun menggoda rasa penasaran diri. Lembah gelap sisi Barat, memberi balance rasa percaya diri untuk tak berbuat sesuatu yang berlebihan. Dalam pisan...! Gawat kalau jatuh! Klak klik, pose kenangan masih sempat terekam...
Terus menjejak langkah pelan penuh kehati-hatian. Sebuah akar pohon yang menempel di bebatuan menjadi penolong langkah berikutnya menuruni tebing terjal beberapa meter. Kemudian jalur kembali sedikit beradab, mudah dijejaki. Setapak tanah berbatu terus menurun, hingga ke pertemuan dataran terendah dari 2 puncakan, Rocky 3 dan gunung Pangukusan, yaitu Lawang Mbah!
Sejenak Benk dan kawan-kawan beristirahat, mengendurkan ketegangan, me-reorientasi
Tak lama, jalur menuju Lembah Ciherang menjadi pilihan langkah berikutnya.
Sore itu, sempat ragu menelusuri jejak yang ada dengan bolak balik langkah demi meyakinkan diri. Hingga akhirnya menemukan harapan setapak hutan yang jelas ke arah Barat. 1,5 jam menuruni lereng punggungan, jejak kaki sampai di titik normal lembah Ciherang setelah menyeberang 1 jembatan kayu. Deru aliran sungai teramat jernih menyambut jejak langkah ujung senja.
Indah nian suasana hening lembah Ciherang... Terkurung puncakan dinding-dinding purba gunung Burangrang, Masigit, dan Gedogan. Sungguh hanya milik pendaki sunyi. Tidur di kemiringan..!’ Tak ada cerita lagi. Api unggun kecil membara.. Tidur nyenyak malam hari!
Esok hari bernuansa kicau burung-burung hutan nan liar, niatan hati mencari curug lembah Lost World session II yang terimpikan... Orientasi benar-benar terkonsentrasi.
Menelusuri jalur tradisonal masa lalu menuju daerah Cihanjawar terlakoni langkah, menyeberangi anak-anak sungai besar dan kecil menjadi menu kenikmatan tersendiri pagi itu. Hingga pada satu titik keyakinan di percabangan 2 anak sungai, fokus orientasi membuncah... Di Peta hanya ada 2 buah sungai, tetapi nyatanya hampir 5 sungai terlalui. Lieurr! Ok, Kompas beraksi, Douglass Protector memback-up keyakinan arah. Dengan menyusuri sungai kecil berliku di kedalaman hutan, arah Timur terambahi dengan susah payah pada keberanian yang hampir musnah. 2 jam fisik dan mental berjuang menemukan misteri...
Di antara keputus asaan yang mendera, di antara sengatan puluhan daun Pulus yang ‘menggairahkan’, tiba-tiba bola mata remaja resah gunung tersengat satu titik cahaya putih di kejauhan. Nirwana jatuh ke bumi! Curug lembah Lost World ditemukan...
Sekejap 3 pendaki berlarian di antara licin bebatuan sungai... Ughh... Indah sekali water fall puluhan meter bertingkat tiga tersebut. Hati takkan pernah lupa suasananya. Sebuah batu sebesar rumah, mungkin tempat sang maung berjemur, kali ini menjadi tempat bersantai diri.
Beberapa saat mengagumi Nirwana lembah Lost World, Gupal Syamsu mencari jalur menuju ke atas air terjun. Srett.. Srutt! Beberapa kali ia terjatuh... Biarlah, memang hese’ eta batu curug! Ha haha.
1 jam lebih Benk dan 2 kawannya menikmati rasa kemenangan. Rasa kagum pada Illahi akan ciptaanNya yang terasakan kini, membuatnya, sekali lagi takkan pernah melupakan suasana magis tersebut. Belantara sunyi terhias curahan air jeram bebatuan gunung, dan keresahan diri yang musnah ada tepat di bawahnya!
Dalam kesungguhan rasa petualangan!
Bahagia! Bahagialah para petualang pencari!
Hari semakin siang, mereka memutuskan tidak kembali ke lembah Ciherang, tetapi orientasi sejenak membaca jalur scrambling mencari puncakan kaldera antara Rocky 2 dan gunung Masigit. Mungkin akan mempersingkat waktu kalau berhasil tembus ke atasnya...
Melipir arah kiri curug lembah Lost World, mendaki punggungan gunung terjal ke arah Timur. Kembali duri-duri belukar menjadi teman sekaligus penghalang tangguh petualangan. Makin ke atas, jalur yang tertembus makinlah tegak! Akar-akar pohon menjadi gantungan hidup 3 pendaki sunyi siang itu.
“Harus tembus...!” seru Gupal.
Keyakinan diri tertolong dengan 3 buah tali webbing yang dibawa. Dijadikan Hardness tubuh, sesekali diikatkan pada batang atau akar pohon yang kuat demi menjaga safety tubuh kalau-kalau terpleset jalur dan jatuh...!
Di suatu titik ketinggian, pada jalur yang mentok karena tonjolan tebing bebatuan terlalu tegak untuk didaki maupun dipanjat, Gupal Syamsu menajamkan filling memanjatnya, akar-akar pepohonan tercari dan tercerabut jemari penasaran! Ia melakukannya berulang kali. Sementara kabut gunung terus menghantam perjuangan dirinya...
Jurang sisi kiri dan kanan di dasar lembah siap menerkam kelalaian yang bisa terjadi di antara rasa petualangan!
2 jam bergantian berusaha keras menembus jalur mentok tersebut. Bukan hanya butuh nyali dan tali, ternyata mereka dipertunjukkan Tuhan bahwa jalur itu butuh lindungan spesialNya.
Benk memandangi wajah elips tebing, lalu menoleh sekeliling ketinggian diri, cukup lama...’ Senyatanya, dirinya merasakan diajar sadar diri! Sudahlah nak, kembali turun, masih cukup waktu untuk kembali ke jalur normal, menapaki jalan yang benar...’
Alamak! Benar, kali ini
Dan sekali lagi..., mundur adalah terbaik saat itu, bukan berarti kalah, tetapi cerdas! Sang Agungpun tersenyum. 3 petualang liar masih dapat berpikir jernih.
Walau nyesek!! Hekk!’ Pergilah ke Barat...!
Petualang nyasar ke pentok jalur tebing terjal itupun bergegas.
Kaki-kaki terayun! Langkah-langkah terseret,.. Srett, sreggh,..., and brughh! Berirama menuruni tebing terjal, langkah-langkah gontai berlindung pada akar-akar pohon yang menjuntai.
Kembali menyusuri anak-anak sungai lembah Ciherang, arah Barat memutar ke Selatan, hingga menemui jembatan kayu sungai Ciherang. Mendaki punggungan gunung menuju Lawang Mbah, pekat malam hari memayungi 2 jam langkah-langkah sesak kelelahan...
Dari Lawang Mbah, sedikit berbelok ke kanan arah Selatan menuju gunung Pangukusan, akhirnya kelelahan tak bisa terlawan semangat lagi. 3 pendaki tumbang di tengah jalur puncakan dinding purba, terbius asa istirahat malam. Rembulan malam menaungi para pendaki, perapian yang berhasil dibuat menyejukkan hati, mengais pulas tidur di antara empuk galian tanah yang terbuat sempurna...
Pagi yang cerah membangunkan Benk, Gupal dan Doleng. Menikmati sarapan pagi, mencumbui aktifitas hari. Udara pegunungan amat segar terasakan, membuat langkah kaki tak tergoyahkan lagi pagi itu. 15 menit mendaki, puncak Pangukusan 1861 Mdpl berhasil terjejaki. Wawww...!!!
Amazing!
Merupakan salah satu view terindah memandangi pesona alam pegunungan Sunda Purba dari rocky Pangukusan. Puncak kecil yang di tengahnya tumbuh satu pohon Jamuju cukup besar itu menuai kesan mendalam, ideal sekali untuk berkemah. Guratan letter ‘S’ ngarai-ngarai dinding rocky Sunda Purba terlihat magis, dari mulai gunung Tangkuban Perahu, Wayang, Sunda, Leumeungan, Pasir Limus, Gedogan 1 & 2, Masigit, Puncak Semu, Burangrang, hingga Gedogan 3. Eksotisme Situ Lembang di Timur Laut, segaris jalur setapak puncakan Burangrang di Barat Daya, Tebing Parang nun jauh di Barat Laut... Puncak Pangukusan juga menyimpan Goa kecil di sisi Barat, cukup nyaman sebagai
Bergerak sedikit menyusuri lereng tipis puncak Pangukusan, ke arah Barat terdapat jalur punggungan kecil yang mengarah ke misteri lembah Ciherang. Jalur terabasan ini akan menyatu dengan jalur setapak Lawang Mbah – Ciherang di setengah perjalanan...
Puas menikmati anugerah Tuhan terindah, langkah berlanjut. Mendaki dan menuruni arah Selatan jalur dinding purba untuk kemudian melangkahi 1 undakan dinding nan runcing, melipir turun sebentar ke arah Barat Daya, naik kembali membentur ketinggian tebing raksasa Puncak Semu...
Remaja resah gunung terpesona jejak alam... Situ Lembang amatlah indah dipandang dari sudut tebing Puncak Semu. Magis pemandangan Situ Lembang terindah yang pernah terasakan oleh diri yang mencari.
Menatap ke sekeliling Utara - Timur Laut... Pucuk puncakan tertinggi rocky gunung Masigit, barisan tebing-tebing rocky berjejer sambung ke gunung Gedogan, hingga Situ Lembang yang terpagari gunung Pasir Limus, Leumeungan, Sunda, Wayang, dan Tangkuban Perahu... Upzzzzzz! Angan indah membawa resah diri menghirup udara segar pegunungan yang menggerakkan naluri murni kehidupan! Klik!’ Gambar magis kaldera Sunda Purba paling indah terekam dan terkenang.
Bersyukurlah selagi bisa mendaki gunung! Bersender tebing raksasa, memaknai kecilnya diri dan besarnya alam, menuai janji yang belum terlaksana, tembus ke Top Puncak Semu dan terus ke Top Burangrang siang itu juga adalah angan terindah berikutnya!
Doleng O Lantang dan Gupal Syamsu menyebar. Satu ke kiri, satu ke kanan tebing. Satu bergolok tebas, satu berwebbing. Benk berdiri, memandangi Situ Lembang, menunggu harapan terkuak...! Beberapa saat...
Gupal : “Riskan!”
Doleng : ...............?’ Senyap! Sunyi! Hening!
Kamana Doleng??!’
Doleng… Doleeeng! Doleeeeeng!!!!!! ... Leungit!?’
Wuzzhkhhhh...!!! Angin gunung tiba-tiba bertiup kencang membentur tebing. Muka remaja resah gunung memerah, berusaha menahan rasa khawatir. Benk bergerak menelusuri jejak rekan mudanya tersebut... Hanya Tramontina yang tertancap di bebatuan! Satu dua jejak sepatu menggores bebatuan, berbekas menancap ke hati resahnya. Refleks... Ia memandang ke bawah... curam nian!!!
...............?!’ Tak mungkin terjadi... Takkan mungkin..., sejenak.. Hanya sejenak tadi.
Doleng! Doleeeng!!! Dolenggg!
Angin berhembus memberi kabar hari merambat petang. Ingat sahabat di
Gupal melipir ke kiri, menuruni wajah dinding, menyibak belukar, merayapi tebing curam di bawah.
.... Doleeng!!! ..............’ Senyap yang ada!
Urat-urat leher Gupal Syamsu mengeras saat ia meneriakkan nama sahabat yang tiba-tiba hilang. Itu tanda cinta dan ketakrelaan akan kehilangan sahabat petualangan!
Haruskah kali ini terjadi...? Sekejap, puncak impian Burangrang telah kabur dari ingatan, tawa dan semangat anak muda tangguh itu mendominasi nuansa pikiran kalut remaja resah gunung! Juga Gupal.
Duduk berdua, menenangkan diri memandangi Situ Lembang, merenungi nasib kehampaan...! Sekali lagi Benk memastikan jejak sahabatnya, menelusuri ke bawah kiri tebing, ................?’ Belukar di bawahnya sunyi tak menjawab! Jatuhkah Doleng????!
Hanya angin kencang menerpa tubuh yang tegang... Pegangan jemari pada akar pohon meremas keras, Benk berusaha berpikir, terus menerawang pandang ke jurang yang dalam. Sebuah pesan dari sahabat lama terkenang. ‘Berpikir tenang, jangan panik. Tuhan bersama orang berani alias bukan nekat!’
Kosong! Saling menatap dua pandangan antara Benk dan Gupal Syamsu, dibatasi rasa khawatir yang menggila! Detik merambat, menit hati rana meresonansi kalbu yang sedih...
Tiba-tiba .......................................... Kang?!!!’
Satu suara akrab menggema di seantero ketinggian tebing.
Astaghfirullah...! Anak itu kembali!’
Suara dari atas tebing raksasa mengagetkan remaja resah gunung yang segera mendongakkan wajah! [Aizzhh,.. Kalau anak itu tahu!]
Dari atas teras tebing setinggi 8 meteran, senyum khas anak muda membara.
“
Gupal berdiri dari duduknya,....!??? Ia keki berat.
Benk menahan gemas dan tawa... Melepas gelisah....
....
Doleng menuruni wajah tebing, menepi di dekat Benk dan Gupal. Remaja resah gunung memeluknya masih dalam keharuan rasa, lalu membagi sebuah Jeruk untuk bertiga, memberi minuman segar untuk bertiga, mengisap sigaret bertiga, mengenang pendakian bertiga, menuai keberhasilan bertiga, dan menuai rasa kehilangan berdua saja! Sendiri saja hilang tiba-tiba!!
Doleng...! Ka mana wae maneh??!’
Seperti kata Gupal yang masih terbekap keki... Kalau benar-benar hilang, sebenarnya bukan si Doleng yang dicari, tapi sepatu gunungnya saja yang harus ditemukan! Ha ha...
Doleng masih tak mengerti apa yang terjadi.. Ia tersenyum-senyum tenang. Tanda rasa petualangan anak muda itu tetap masih hidup.
Benk jadi sering memperhatikan tapak kakinya sejak itu... Masih nyentuh tanah euy. Apa benar ini Doleng asli?! Hi Hiii. Jalur mentok tebing raksasa, meluruhkan hati...
“Jalur ke kiri riskan, di atas kita akan kepentok tebing besar lagi!” info dari Doleng si anak hilang 1/2 jam tadi membuat keputusan tembus ke puncak Burangrang lewat jalur rintisan tebing Puncak Semu masih harus menemui ketertundaan.
Petualangan haruslah berlanjut, kepuasan jiwa menjadi janjinya! Sebagaimana dirinya memandang lepas ke sekeliling belantara Sunda Purba. Tempat yang seringkali mewarnai mimpi-mimpi petualangan hidupnya. Dari kejauhan arah Timut Laut, percik kilau permukaan air Situ Lembang hinggap di bola mata, menyampaikan salam abadi petualangan rimba gunung...
Sore menjelang, mereka kembali menuruni jalur puncakan dinding tipis arah Utara, sebentar, lalu membanting arah ke kanan, arah Timur. Melipir lereng memasuki lembahan. Menebas belukar, menerabas peperduan, sengatan daun Pulus sudah tak terasakan lagi! Sesekali, Benk masihlah memperhatikan tapak kaki Doleng... Ah masih nyentuh tanah, ia tidak benar-benar pergi!
Menyeberang ke punggungan panjang yang menjulur ke arah Timur, menemukan kumpulan Jamur gunung warna Oranye berbentuk bulat sebesar-besar bola basket, unik!
Satu bola jamur dilempar.... Wuzz! Masuk ke ‘keranjang basket’ berbentuk batang pohon bercagak... Hupzhh!! Duk dukk.. Bruszhh!’ Jatuh meletup di serasah tanah yang lembab.
Kesesakan dan keriangan hati melipir lereng punggungan gunung membawa 3 pendaki untuk pulang hari itu juga. Walau sempat masih terdera rasa penasaran, tapi sekali lagi, pulang adalah perasaan terbaik saat itu.
Hari esok masih ada. Kapan??? Takkan lama friends!!! Takkan lama.
Session IV
2 minggu kemudian, sinyal SMS adventur ditebar......??? Entahlah. Lalu......!’ Ternyata masih ada Lelaki, para petualang pencari! Hendricus Odonk & Ogun Polo. Teman hidup mati kenangan lembah lost wolrd.
Jalur Session IV ini Air menjadi kata penting!!! Air-air-air atau Mati!
Safety peralatan memberi kesan bijak akan persiapan dari suatu perjalanan. Peralatan Climbing terbawa kali ini. 3 sahabat gunung tersaksi kegagahan akan hal itu, walau juga tersangsi ke PD-an semua itu... Nyasar...?’ Waktu takkan pernah kembali!
Bahagia-bahagialah! Orang yang kagak nyasar-nyasar di hutan gunung.
Target pendakian tetap Puncak Burangrang 2064 Mdpl sebagai puncak tertinggi ke 2 pegunungan Sunda Purba setelah puncak Tangkuban Perahu 2070 Mdpl, sedangkan target plus ‘after’ puncak impian ialah menembus misteri Lembah Ciherang via Puncakan Burangrang, Rocky 4, Rocky 5, Gedogan 3, Rocky 6...
Tak lama, bara api petualangan gunung Sunda Purba kembali menyala! Waktu itu datang... Takkan mungkin, takkan mungkin gagal lagi! Paramuda petualang Session II lalu come back! Hendricus Odonk, Ogun Polo. Seorang sobat lagi, Norman Buluk, I don’t Understand Him...!!? Entahlah!
Lambaian tangan pak Ujang, sobat tua gegedug ‘gerombolan’ pemanjat Bandung terbayang-bayang, motivasi pemanjat tua yang selalu terlihat smart itu terasa cair menginspirasi remaja resah gunung mengejar impian Sunda Purba.
Begitupun dengan Brutus, sobat petualang mantan ketua himpunan Pecinta Alam kampus yang setia mendukung giat petualangan alam terbuka hingga kini. Pengelola Warung Internasional di daerah Dago itu intens mensupport perbekalan. Nuhun euy!
Malam hujan di kampus, menyertai langkah-langkah. 3 pendaki memaksa diri demi mengejar waktu.
Cisarua... Dari batas Plang Komando, nyala senter kecil menemani 1 jam langkah kaki menuju titik terakhir jalur turun session III di areal Gudang Seng.....
Malam itu fly
Pengalaman Session II lalu bagi 3 pendaki merupakan pembelajaran teramat penting untuk jiwa. Saling pengertian yang cepat, membuat aktifitas pagi serasa berlangsung lancar. Bergerak ringan, menerabas hutan belukar ke arah Barat Daya menuju puncakan dinding punggungan yang memanjang, target awal pendakian pagi itu.
Setengah jam menerabas, kontur alam yang terpijak semakin lama kian berubah terjal hingga membentur cadas tebing berbatu.. Setelah coba-coba memetakan jalur direct ke atas...’ Uzzhs!! Tegak lurus! Semakin ke kanan, dinding tebing semakin tegak memunggungi rocky Puncak Semu...
Hendricus Odonk memilih melipir ke kiri. Sebuah pilihan bijak! Berscrambling berliku, kiri ke kanan, melihat ke atas, menemukan celah yang memungkinkan cengkram jemari. Tali temali mulai dikeluarkan. Safety! Tali Kernmantle, Webbing, Figure of Eight, Carrabiner, menjadi hias petualangan. Tanda mata-tanda mata jejak rintisan sempat tertancapkan di 1 jam jalur scrambling. Merayapi tegak tebing setinggi 15 meteran di ketinggian belantara sedikit ngeri terbayang, tapi asyik!
Satu hambatan berhasil terlewati. Punggungan gunung yang menanjak ke arah Barat terjejaki, lalu menerabas belukar dengan Tramontina kembali terlakoni. Fokus orientasi tetap ke arah matahari tenggelam! Butuh 1 jam hingga kemudian menemukan jalur normal ke puncak Burangrang via jalan Komando.
Tengah hari yang sunyi.. Benk dan sahabatnya terduduk merenungi nasib baik. Tak lama, jejak terus berlanjut dalam keadaan normal-normal saja. Jalur tanjakan Puncak Semu - Burangrang terlakoni hingga 1 jam perjalanan puncak impian... Top Burangrang 2064 Mdpl terjejak!
Puncakan yang sebenarnya sering terdaki...
Sore itu, siapapun takkan menyangka, bahwa Burangrang mengeluarkan semua keindahan yang jarang terlihat.
Arah Timur - Tenggara; Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Putri, Bukit Tunggul, Palasari, Manglayang, dan sekuncup magis puncak Ciremei. Arah Selatan; Gunung Patuha, Pegunungan Malabar, Wayang-Windu. Arah Barat - Barat Laut; Gunung Gede-Pangrango, Tebing Parang-Cirata Jatiluhur. Arah Timur Laut; Danau Kawah Candradimuka
Rasa hati perlu terjaga. Akal sehat mesti terpelihara, di hutan gunung euy...!
Senja menggelap... Alam surga Burangrang berubah drastis, hembusan angin membawa gumpalan-gumpalan kabut. Pesona indah bentang alam berubah magis hening kesenyapan gunung.
Sementara, misteri jalur lembah Ciherang via Rocky 4, 5, Gedogan 3, dan Rocky 6 menjadi target ‘plus’ yang mengusik jiwa penasaran...
3 pendaki bersegera, menjejak langkah petualangan kabut senja. Setelah puncak Burangrang, jalur longsor arah Barat Laut di depan langkah membutakan mata, kabut gunung membuat jejak kaki terbanting ke arah Barat. Menuruni lereng curam 1/2 jam langkah menyesakkan hati, remaja resah gunung tersesat jalur, terbius kegelisahan. Sungguh! Waktu terbuang percuma seketika. Rasa hampir mati menangis tersketsa dalam wajah penuh kesesalan. Kebimbangan terjadi..... Tapi akhirnya, energi petualangan yang tersisa masih mampu tercari! Salam Rimba!
Begitu adanya dan seharusnya!
Di tengah jalur kesengsaraan hati, Benk dan 2 pendaki muda bermalam merenungi nasib, menghitung waktu, dan... Air! Bisa???’ Kalau nyasar lagi!!??? .......................... Tabah sampai akhir!
Malam merambat sunyi. Membekap kesengsaraan hati.
Hingga pagi datang, suasana petualangan terasa datar mengurung hati. Beberapa lama mengelilingi sisa api unggun, bertarung melawan malas diri. Namun, petualangan belum berakhir bagi remaja resah gunung!
Petualangan gunung bukan hanya cerita tentang keindahan! Hayoo!!!
Langkah kaki kembali mengeras, terasa berat di jalur super menanjak selama 1,5 jam perjuangan, tetapi jiwa petualangan masihlah terkail! Menjejakkan kaki kembali ke puncakan Burangrang, sebentar memeriksa
Berlalu bersama angin gunung berhias kabut terbang hingga 2 jam perjalanan. Akhirnya, kehatian-hatian tinggi membawa pendakian sampai ke puncak Gedogan 3, 1926 Mdpl. Sebelumnya, di gerbang masuk puncak gunung Gedogan 3, sebuah nisan sunyi rekan Pecinta Alam membuat remaja resah gunung termenung...
‘Sekali kaki melangkah, pantang surut ke belakang’
Benar! Selalu ada motivasi dan doa untuk para petualang! Smoga selalu ada bintang di surga untuk kalian, kawan!
Hari bergulir melepas petang, Benk dan 2 sahabat gunung muda meneruskan perjalanan setelah menancapkan tanda mata pendakian, bergerak menuruni punggungan gunung arah Timur Laut.
Di atas dinding-dinding tipis dan meruncing, meniti jalur puncakan Rocky 6, menunggu kabut meninggi, mengambil gambar wajah dinding tebing Burangrang dari sudut pandang Utara yang jarang terekspos... Heeepzzzhh.. Klik! ...Bisa. Krek, kokang kamera bersiap lagi........... Hepzh..’ Gagal...
Pucuk-pucuk dahan pohon Cangkaleng jauh di dasar lembah bergoyang-goyang keras, seperti ada sesuatu yang meloncat dari satu dahan ke dahan lainnya... Entahlah, seperti pesan sunyi belantara.
Wuzzh!! Angin berhembus kencang. Waktu mengingatkan Benk yang termagis sesal alam keindahan... Lain kali bisa! Fokus lensa kamera harus segera ditutup. Jalur di depan adalah jalur maut!
Jejak-jejak kaki remaja resah gunung melipir sisi punggungan. Sampai batas Rocky 6, tak terlihat lagi jejak-jejak bekas pendakian. 1 jam menerabas belukar semak, bertraversing melipir dinding punggungan tipis, mengandalkan juntaian-juntaian belukar yang saling membelit, pijak kaki berjalan mengambang di udara!
Lepas jalur maut, jejak pendakian semakin tak berbekas sama sekali, hanya 2-5 cm gores ratusan cakar binatang yang terlukis di pohon-pohon tebing punggungan rocky yang menjorok ke lembah Ciherang.
Sarang Maung......?! Muhun jang! Punten...
Tak terpikir untuk berlama-lama, degup hati terasa menggedor-gedor keberanian remaja resah gunung dan sahabatnya.
Brazzsh... Brezszzh..... Braezzzhhhh....! Dan Oupzssss!???????’
Terperosok... Hampir jatuh terpelanting!
Longsoran tebing besar di depan langkah menggetarkan nyali...!!!
Mata terbelalak terjal ketinggian, namun masih sempat sebuah pecahan batu ditendang.... Wuzzkh! ................... Pluuung!!!’
Lamaaaa............................... Diggzh!’ Suara batu terbentur benda keras, mental lagi dan terus jatuh ke kesenyapan jurang. Dalam!
Naik berscrambling pada bekas longsoran besar masih menyiutkan nyali. Tapi, beberapa saat berpikir keras......?!’
Itu harus terlakukan, tak terlihat jalan lain saat itu. Nyali petualangan hanya ada di situ, demi menyeberang ke puncakan punggungan yang terputus.
Benk bergerak, menyibak semak alang hingga batas longsoran. Lebar longsoran tebing sekitar 15 meter dengan ketinggian puluhan meter harus segera diseberanginya kini. Fokus menatap keseluruhan
Pohon-pohon kecil yang tumbuh di atas guguran tanah dan tumpukan-tumpukan batu yang membentuk teras kecil bisa menjadi penyangga keseimbangan tubuh. 1 rekan pendakian siap membelaynya dengan tali kermantle sebagai anchor hidup...
Hupz!... Harus dengan kecepatan gerak, hups! Hupz! Srett, reggh..! Terpleset longsor beberapa meter... Break!! Wuaw!’ Terus bergerak menyamping dan memelihara ketenangan tubuh.... 10 menit waktu berlalu... Hepzzz! Sebuah cengkraman mengeras...!’ Mengangkat tubuh, berscrambling beberapa meter, akhirnya berhasil meraih batang belukar di gigir puncakan dinding punggungan seberang.
Bergantian, saling menjadi belayer... Bergantian merasakan ketegangan menyeberangi jalur longsoran tebing punggungan rocky.....
1 jam waktu menegangkan berlalu.
Sejenak beristirahat mengais keberanian sunyi.... Tak lama, orientasi
Sementara sore menjelang! Padahal malam haruslah pulang!!
Terdera rasa haus akibat persediaan air yang menipis, kering menyengat diri...! Benk menjaga arah penjelajahan, Ogun Polo menajamkan filling mencari jejak yang terbekas, Hendricus Odonk tetap menebas pada kontur
Hingga, golok Tramontina membawa nasib pada sandi-sandi hidup pohon lembahan! Tanda-tanda dataran lembah bersungai mulai terasa. ................ Hey!!!’ ..... Kegelisahan berakhir!
Sungai Ciherang di depan langkah.............’
... Hampir habis air di sungai tertelan rasa dendam haus diri! Glukk! Glukk! And Glekkh! Sebentar kemudian re-orientasi
Remaja resah gunung mencipratkan air sungai ke kepala sahabat gunung sunyinya... Pratttttt!!! Refleks kegembiraannya memuncak, karena rasa penasaran menjejak lembah Ciherang via Rocky 4, 5, Gedogan 3, Rocky 6 terjawab, dan dirinya meyakini medan petualangan berikutnya...
Setapak hutan di depan mata, tak ada waktu bermain lagi, hari merambat gelap tertutup kanopi pepohonan lembah misteri..... 3 pendaki sunyi saling tersenyum.
Senyatanya, tenaga yang terkuras membuat pikiran terganggu. Orientasi langkah
Tak bisa! Malam itu haruslah tetap segera keluar lembah misteri, pulang! Jangar!!!
Nyala senter dari sisa baterei yang ada, meredup dan semakin meredup! 1 jam gelap waktu berlalu. Hati resah berdegup-degup, langkah kaki tersandung aral, grusak grusuk, ... Bruzzkg!!!
Dataran terendah antara gunung Masigit dan gunung Pangukusan menjadi target wajib malam itu. Setelah menyeberangi anak-anak sungai yang melintasi setapak hutan, meniti 1 batangan kayu yang menjadi jembatan alam sungai Ciherang, berbelok ke arah Timur menanjaki jalur selama 2 jam langkah berat, remaja resah gunung tiba di Lawang Mbah...
Bebas!!?’ Belum...
Senter yang bermasalah menyusahkan langkah di
1/2 jam langkah aral, suara geram gonggongan anjing terdengar menyambut langkah 3 pendaki kemalaman. Aerzzzh..! Goggk! Googgkh!!
“Jangan lari euy, leuleus...!”
Anjing-anjing tetap menggonggong di kesenyapan area Gudang Seng. Di jalur makadam Situ Lembang, arah Selatan menjadi pilihan jejak resah menuju pulang, satu dua langkah lunglai tertapak samar.. Tiba-tiba suara dering hand phone berbunyi. Sebentar hanya sebentar... NO SIGNAL!
Hutan masihlah rapat, perjalanan masih jauh untuk pulang. Barisan pinus besar sepanjang jalur makadam Situ Lembang seakan tak berujung..
Some Day We will be Back! With more Courage.
Thanks God!!!
UNTUK YANG TAK PERNAH MENYERAH
Untuk Pinus-pinus, Belukar-belukar, Tebing-tebing, Sungai-sungai dan Belantara Kabut
Takkan pernah hilang
Takkan pernah melayang
Benar Cinta
Dan itu Kata!
Tentang Keindahan tentang Kedamaian
Tentang Tantangan tentang Kehidupan
Masih Terberi
Dan itu Nyata!
Session V
Saat sunyi di kesendirian ia mengingatNya, maka saat di keramaian Tuhan ingat pada dirinya. Saat bising di keramaian ia mengingatNya, maka saat di kesunyian Tuhan ingat pada dirinya.
Maka ketika Aku telah cinta kepadanya, Akulah yang menjadi pendengaran & penglihatannya. Sebagai tangan yang digunakannya dan kaki yang dijalankannya. Dan apabila ia memohon kepadaKu pasti Kukabulkan, dan jika berlindung kepadaKu pasti Kulindungi.
magic words
Angan itu ternyata masih bersambung, melambung, membumbung, setinggi gunung-gunung! Ingiiin rasanya.... Ingiiiin, sungguh teramat ingin punya satu kisah tersembunyi dari tempat-tempat tersunyi.
Tembus Puncak Burangrang 2064 Mdpl via Dinding Utara!
Mimpi...!!! Tidak!’
Mimpi??? ..... Ya!’
Cukup kawan!?.... Belum!’
Selama bayang masih tersketsa, berarti masih tersisa ruang dan waktu. Selama keyakinan masih ada, maka ketabahan menjadi buah cipta sebuah cita-cita!
Kisah sepi di kesunyian benar terkisah... Bersama gelisah keringat, air mata, dan juga darah anak gunung! Kengerian, ketakutan, keberanian, meresah mencoba mencari jalur tuk bersatu mimpi.....
Masih tersisa hujan di awal tahun 2006, ketika hati yang meresah memutuskan tuk terus menelusur sudut-sudut sunyi belantara Lembah Ciherang, merayapi terjal kemegahan wajah Dinding Utara Puncak Burangrang, Pegunungan Sunda Purba.
Beberapa kejadian mengerikan masih teranggap resiko petualangan akan keinginan resah yang mesti berlanjut...
Satu teman, Alexander Piyik terjatuh dari satu jeram air terjun bertingkat 3 di hulu Barat Daya aliran sungai Ciherang. Luka pecah yang merobek dagu satu rekan pendakian session 1 tersebut tak jua membuat tekad gelisah alam mengendur.
Begitupun gigil kebekuan raga beberapa rekan lain tak jua cukup membuat kapok pencarian jalur ‘mimpi’ kabut belantara sunyi.
Kengerian akan resiko longsoran tebing tanah sebuah punggungan tipis di titik tengah Dinding Utara Burangrang malah semakin menumbuhkan benih ‘dendam’ jiwa petualangan yang tertunda...
Terpaksa tidur di ambang batas kematian bersama Acuy [rekan pendakian Halimun], terkungkung ngeri ketinggian di kegelapan malam periode lanjutan pencarian jejak rintisan tebing Utara Burangrang akibat merasakan lapisan dinding tanah tebing raksasa berderak longsor memecah kesunyian malam... Breeggzkhh! Bummhh....!!!’
Sungguh kejadian paling tragis sebenarnya, jikalau diri remaja resah gunung dan 1 rekannya terbangun kala itu..............................! Terbentur nyali yang tak lagi menyisakan keberanian untuk sekedar bangun, bergerak, berkomunikasi.....
Tak mampu terhentak lumpuh raga & jiwa alam gelap!
Hingga Sang Agung mengembalikan magis hati, keesokan pagi, grafik nyali petualanganpun berada pada titik Nol... Tak berani melewati kontur tipis maha terjal sebuah pungggungan yang terlihat paling menonjol di wajah dinding Utara Burangrang pada ketinggian yang ‘hanya’ menyisakan 70an meter lagi saja menuju puncak tertinggi! Keberanian Titik Nol membuat goyang kesegeraan niat meraih mimpi menjadi kenyataan.
Menatap sisa keangkuhan Dinding Utara Burangrang.........’
“Bagaimana kawan...?”
Sebuah tanya resah penasaran terujar sunyi.
..... Hanya muka memerah putih pucat pasi sebagai jawaban hati!
Sepertinya tak layak untuk diceritakan resiko nyata petualangan senja sunyi tersebut. Entahlah, kebodohan ataukah keberanian jejak diri waktu itu...!
Hanya satu harmoni asa yang bisa teringat hati, di antara posisi takut naik - takut turun ketinggian tebing Utara Burangrang yang rapuh dan terjal akibat ‘kesasar’ jalur rintisan pada dimensi ruang-waktu-skill-mental yang minus...... Lagu Kelana 25 Desember 1964, dari pengelana sejati, Iwan Abdurrahman, membangkitkan pesona maha magis alam sunyi Burangrang sekaligus lindungan Tuhan!
Kelana 25 Des. 1964
Keheningan alam
Di tengah rimba sunyi
Ku berjalan seorang diri
Bagai seorang kelana
Kudambakan jiwaku
Padamu oh Tuhanku
Ku berdoa sepenuh hati
Smoga tercapai tujuanku
Ku berjuang penuuh tekad
Demi Nusa dan Bangsa
Dingin hening dan sepi
Di daun angin berbisik
Hai kelana tabahkan hatimu
Tuhan slalu besertamu
Ku berjuang penuuh tekad
Demi Nusa dan Bangsa
Dingin hening dan sepi
Di daun angin berbisik
Hai kelana tabahkan hatimu
Tuhan slalu besertamu
Tuhan slalu besertamu
Senyatanya memang benar, Tuhan selalu bersama orang-orang berani! Yang selalu berani mengingat batas diri, mengingat Tuhannya!
Maka, ketika kesempatan itu terasa masih terberi dariNya, lagi-lagi semua peristiwa petualangan mengerikan Dinding Utara Burangrang, tak jua membuat remaja resah gunung menyerah...
Kehabisan waktu bersama Norman Buluk [rekan pendakian Session 1], saat menyusuri sungai lembahan sisi Timur area Batu Kursi. Dari titik tengah belantara Lembah Ciherang, mengarah ke Barat Daya, hampir 3 jurang lembahan dan punggungan sunyi terseberangi. Mencumbui petak keindahan hutan Redwood, mengagumi pohon-pohon Kayu Merah yang benar-benar merah dari batang hingga ujung daun, unik! Berscrambling, mendaki punggungan terjal ke arah Selatan, yang senyatanya kontur ujung puncakannya meruncing tipis berbelukar alang maha rapat, dan arahnya berbelok ke Barat menuju keterjalan dinding Rocky 4 - 5, melambung menjauhi target Top Puncakan Burangrang.
Jauh untuk tembus..... Turun!’
Memotong kompas, menuruni terjal lereng punggungan hingga menjejak dasar lembahan bersungai... Kembali mengikuti alur sungai ke arah hulu, pada akhirnya membentur tebing-tebing raksasa yang membuat diri merasa kecil, sungguh merasa kecil! Demi melihat dan meraba wajah megah Dinding Utara Burangrang. Hingga pada akhirnya memastikan satu aliran sungai di tengah-tengah deret kontur punggungan tipis belantara Ciherang. Remaja resah gunung mengambil jalan tersebut..... Menanjaki terjalnya jeram sungai yang menyempit, merayapi dinding-dinding air terjun setinggi 3 -10 meter, merasakan aura magis jejak-jejak binatang liar rimba Ciherang di tanah-tanah basah lembah sunyi, melawan ketakutan ketika ‘terpaksa’ melalui sarang Macan yang terlihat cakaran jejaknya di kulit batang-batang pohon dan bebatuan goa kecil... Langkah kaki dan kemauan hati justru semakin mengeras, membius asa petualangan!
Kenangan itu, teramat menyesakkan, sungguh! Di mana keinginan mimpi masih kuat terkurung keterbatasan waktu yang membunuh. Asa petualangan benar-benar terbunuh....! Ugkh!
Matahari esok masih terbit....
Tetapi memang tak ada mimpi berbuah kenyataan dengan jalan mudah! Walau tetap sulit, Benk belajar percaya akan selalu ada jalan lain! Tapak kakinya tetap mau diajak mencari... Tanah tebing yang bergerak selagi diri ‘terpaksa’ tidur di terjal ketinggian gunung telah menggores hati demi lebih mempercayai adanya tangan Sang Magis Alam.
Semangat matahari! Remaja resah gunung takkan pernah lupa...
Satu pengalaman fajar mengesankan puncak gunung Masigit, 1884 Mdpl...
Sehabis menikmati silhouet-silhouet pegunungan Sunda Purba di bawah naungan hening langit malam berpurnama sempurna.... Pukul 04.15 pagi! Mimpi indah tidur petualangan terputus igau 1/2 sadar diri... Dentuman meriam latihan perang Para Komando negeri di Situ Lembang membangunkannya dari jarak ±6,5 Km arah Timur Laut, pada pagi buta puncak eksotik gunung Masigit! Bumm! Bumm!! Bummm!!! ... Tratt...Tatt.. Tattt!!... Tatt... Tattt!! Bummmg!!!
Tersadar dari igau peperangan, fokus memandang arah Timur Laut, menembus kabut malam bercahaya rembulan sunyi, ratusan nyala obor dari barisan prajurit tangguh yang sedang menempa mental perjuangan kebanggaan anak bangsa, menjadi pengalaman hidup petualangan Sunda Purba paling mengesankan. Betapa tidak... Udara beku pegunungan Sunda Purba terpupus semangat membara hati perjuangan ‘perang’ Para Komando negeri yang memagis jiwa remaja resah gunung! Menyuntik adrenalin jiwa petualangan diri untuk bisa menyelesaikan ‘perjuangan’ panjang mengenal sudut-sudut tersunyi negeri indah Sunda Purba.
Dingin sekali fajar buta Sunda Purba....!’
Gumam remaja resah gunung dalam renungan Timur Lautnya.
Apakah Para Komando itu nggak dingin?’ Berjuang, berlatih, berjibaku demi negeri, di malam pekat berkabut belantara gunung yang beku! Bukankah mereka tak berjaket gunung? Berselimut tebal....?’ Kewaspadaan murni 100% tentu menjadi tuntutan dalam ‘perang’ di gelap rimba....?!’
Tanya hati remaja resah gunung seraya merapikan jaket gunung di badannya yang berselimut embun malam. Sementara, bara api unggun terus membara di puncak runcing Masigit....
.........................................................................’ Tangguh!!!
Sungguh tangguh!!! Pagi buta tetap berlatih demi negeri!’
Hormat hati remaja resah gunung pada tentara negeri tercinta.
Inspirasi untuk anak negeri...
Hingga pada detik waktu petualangan yang masih terberi...
Hendricus Odonk dan Ogun Polo, sahabat pendakian session 2 menjadi teman pendakian pamungkas Sunda Purba.
Satu aliran sungai di tengah-tengah deret kontur punggungan tipis Ciherang menjadi jejak yang terpilih.
Pagi hari ketika Kemarau mulai mempengaruhi belantara. Beberapa jeram air terjun yang pernah terjejak mulai mengering kehabisan sumber airnya dari dinding-dinding Utara tebing Burangrang. Tetapi sungai menjadi pilihan jejak orientasi masih menyisakan alir airnya...
Bruzskhhh...! Sekelebat bayangan hitam di pagi buta menjauh dari langkah-langkah yang terjejak.
“Maung Hitam...!?”
Entahlah. Pikiran sunyi tetap tak terganggu, terus mengajak hati menyusuri sungai ke arah Selatan menuju hulu jeram. Menyibak perdu belukar, kulit lengan terksiksa gatal panas tergores duri-duri lembut beracun... Tetap menahan asa, dan terus bergerak. Merayap, memanjat tebing-tebing jeram air terjun sungai pegunungan, melompati batu-batu besar dan meloloskan diri dari jerat batang-batang pohon yang melintangi alur sungai berundak-undak.
Sungguh mengasyikan jejak petualangan pagi itu. Tebasan golok sesekali terayun ringan melapangkan jalan yang terintis.
3,5 jam perjalanan, pohon-pohon besar yang mengkanopi sungai belantara Lembah Ciherang mulai berganti dengan pohon-pohon kecil. Pisang Hutan, Kirinyuh dan Honje mulai mendominasi batas vegetasi hutan yang semakin terjal. Kemegahan vertikal wajah Dinding Utara Burangrang mulai terlihat.
Beristirahat, menikmati alam ‘Little Grand Canyon’ Burangrang. Di sisi aliran deras jeram kecil pada ruang yang terbuka, terpayungi cerahnya langit biru, terhias magis dinding raksasa Burangrang nan megah. Keindahan dalam kesunyian alam terasa membius jiwa resah untuk mempertahankan semangat pencarian...
Arah sungai sedikit berbelok ke Barat Daya. Semakin terjal ke arah hulu, semakin terjepit dua dinding punggungan yang menonjol dari dinding raksasa Burangrang.
Sisi kiri ialah tonjolan dinding maha terjal yang tempo hari hampir menelan nyawa remaja resah gunung akibat gerakan tanahnya. Tanpa pohon-pohon besar, di balik tonjolan dinding itu juga terdapat jeram air terjun bertingkat 3 yang memecahkan dagu seorang rekan yang terjatuh.
Sedangkan sisi kanan ialah punggungan yang juga tempo hari terakhir pernah terjejaki hingga langkah terhenti tipisnya dataran puncak serta rimbunnya belukar alang yang menghalangi gerak kaki dan lengan. Punggungan yang ditumbuhi pohon-pohon berbatang keras di segaris lereng Baratnya tersebut searah jalur sungai yang terlalui saat ini, arah Barat Daya...
Kengerian membayang bila mengingat pengalaman petualangan-petualangan rintisan sebelumnya... Hanya saja, itu sebuah pilihan yang kian membuat tekad remaja resah gunung membatu seperti kerasnya batuan tebing di ujung akhir hulu sungai yang kini terjejaki.
Rintangan batang-batang pohon tumbang dan rapatnya belukar perdu di jelang hulu sungai membuat Benk mengambil jalan pintas merayapi lereng semi vertikal dinding berumput.
Agak susah memang berscrambling, bertraversing dengan kondisi rerumputan yang banyak mengering. Ceracah debu rerumputan menjadi penghantam ampuh pandangan mata yang memerih. Air mata penasaran! Begitupun sesaknya belukar hutan Kirinyuh pada teras dataran yang tersisa... Mendesak langkah, menggebruskan tubuh, meniarapkan badan dan merayapi lorong-lorong belukar gunung demi menambah ketinggian di sesak udara medan kemiringan tebing. Sesak hati penasaran! Top Burangrang... Hanya 120an meter lagi saja!
Pukul 12.00 Wib! Tepat tengah hari di lepas hulu sungai, pada sebuah teras dasar tebing Dinding Utara Burangrang..... Elang gunung melayang-layang tinggi, menyadarkan batas angan diri. Usai membaca jalur pemanjatan yang akan dilalui.... Dinding raksasa Utara Burangrang terayapi, Elangpun pergi dalam kesunyian...
Free....! Hanya akar rerumputan yang meranggas di musim kemarau menjadi andalan cengkram jemari.
Hendricus Odonk menjadi Leader.... Hingga sampai pada satu titik, kode aman diberikan. Giliran Benk mencoba ‘nasib’nya, lalu Ogun Polo mengimbangi jejak di sampingnya. Satu teras memanjang, cukup membantu keseimbangan diri. Pandangan bola-bola mata menerawang, menelisik celah dinding.... Masih yakin!
Hendricus Odonk bergerak kembali, tak ada kata keraguan baginya...’ Upszz! Srett!! Akar-akar rumput tercerabut, tubuh terpeleset turun beberapa pijakan... Ukghh! Cengkram jemari pada akar rumput lain menyelamatkan tuannya. Pendaki muda itu masih tersenyum...’ Pemanjatan berlanjut... Hingga berhasil mencapai satu teras yang membuatnya bisa sedikit mendudukkan diri. Ia menunggu 2 rekannya...
Tak terlalu sulit, 15 menit jejak rintisan leader telah ada untuk Benk dan Polo.
Bertiga saling merapatkan tubuh. Sementara dinding di atas semakin tegak dan serasa tak bersahabat. Tetapi adrenalin tubuh semakin keras membeku.... Ketinggian semakin tinggi saja, pemandangan indah semakin indah nyata! Tertangkap mata, pemandangan rimba belantara puluhan meter di bawah mulai membius kengerian manusiawi petualangan.
“Kita harus pakai tali!” ujar Hendricus Odonk.
Tali Kernmantle, sebuah Carrabiner, Webbing dan beberapa alat pengaman dikeluarkan. Odonk melanjutkan pemanjatan, berusaha mencari celah medan bebatuan..... 10 meter ke atas, gerakannya berhenti.
Merayap ke sisi kiri... Lalu kembali, dan merayap ke kanan... Kembali lagi ke titik tengah. Ia tak menemukan pijakan. Kode kritis diberikannya. Peralatan memanjat tanpa support Piton/pasak tebing yang lengkap seperti tak berguna di medan ini. Dinding batu berlapis tanah rerumputan itu tak memberi celah kuat sebagai tambatan nyawa.
“Masih akar rumput nyawa urang euy!” teriak Odonk.
Penasaran akan teras-teras tebing yang sempat terlihat saat pembacaan jalur... Benk berinisiatif menyusul pemanjatan. Tak lama sampai di tempat sang leader berpijak, lalu dirinya meneruskan gerak pemanjatan.
Menyamping ke kanan, akar rerumputan menjadi andalan cengkraman tangan pemanjatan tanpa keseimbangan pijak kaki yang bertumpu kuat pada wajah tebing. Dregh... Drugghh... Dugg!! Brezzkgh!! Sebuah celah kecil hasil tendangan ujung kaki ke wajah tebing tanah, terbuat...
Beberapa saat... Menyusul, Hendricus Odonk sampai di tempatnya. Benk segera memberikan celah kecil itu dengan melakukan traversing ke kiri. Ups...! Nyaris!! Sementara rerumputan di atasnya mulai habis....
Ogun Polo menyaksikan dua sahabatnya memanjat dengan seksama. Sementara, diri remaja resah gunung terus berjuang melawan keinginan hati! Berusaha menambah ketinggian, merayap zig-zag ke kanan mencari rerumputan yang lebih banyak sebagai gantungan nyawa....
“Tahan..!” teriak Benk agar Ogun Polo tak bergerak dulu. Ia ingin memastikan sesuatu.
Terus merayap ke atas... Satu dua... Tiga langkah ketinggian tubuh berhasil digapai.... Di satu titik gantungan jemari tangan, Elang gunung kembali melayang-layang mendekati jejak petualangan. Berputar-putar anggun di atas gantungan diri...
Benk menoleh ke belakang, matanya menghunjam pemandangan hutan belantara Ciherang ratusan meter di bawah..... Kengerian penuh keindahan bertarung di dada. Tak ada semilir angin yang berhembus, dedahanan pohon-pohon belantara seakan tak bergerak! Gumpalan-gumpalan kabut tebal pun benar-benar tak mau terbang dari sekeliling angkasa tebing.
“Kang....!” Ogun Polo berseru memecah rasa kesunyian.
Huszz...! Benk tersadar. Sadar akan batas kemampuannya memanjat. Kemegahan Dinding Utara Burangrang membius nyali terdalamnya! Ia harus jujur pada dirinya...
Remaja resah gunung harus turun! Segera....
Srett... Sruuut... Zrebb! Hinggap mendekati tubuh rekan di bawahnya.
“Bagaimana Odonk?!”
Sebuah tanya khawatir menggema... Ia tak sempat melihat sosok sang leader.
Polo bergerak, sedikit merayap ke atas melewati sebuah tonjolan batu. Mendongakkan kepala, dilihatnya sang temanpun sedang terhenti.... Mereka saling tersenyum..... Senyum di batas kesadaran diri!
Terlalu tangguh.... Ya terlalu tangguh alam itu, bukan mereka! Kali ini keberanian harus terarahkan pada diri, hati, nyali dan jiwa. Bukan pada alam yang perkasa!!!
Tali panjat telah masuk kembali ke dalam carriel. Menuruni tebing melewati dua teras, lalu hinggap di batas vegetasi tebing dan hulu sungai belantara Ciherang. Brugggh... ! Terduduk, saling meratapi nasib!
2,5 jam diri bergelut dengan rasa kepenasaran hati di dinding Utara Burangrang. Isyarat alam telah memaksa batas kemampuan diri berpikir ulang...... Pulang??!’
Tidak! Masih cukup waktu untuk mengejar angan!
Seperti Elang yang masih mau mengingatkan hati, maka para pendaki penasaran itu membaca ulang jalur medan rintisan lain demi penuntasan asa petualangan.
Remaja resah gunung berusaha menggali makna kegagalan-kegagalan jalur sebelumnya hingga yang terakhir ini ia rasakan.
Belantara Ciherang - Top Puncakan Burangrang via Dinding Utara masihlah sunyi bermisteri. Tak banyak orang tahu mungkin, tetapi yang pasti hanya orang-orang yang berkemauan keras mencari hikmah tersunyi petualangan yang kan tahu keberadaannya.... Dan remaja resah gunung ingin seperti ‘orang-orang’ seperti itu!
Top puncakan Burangrang dari dinding tebing Utara hanya satu api penyemangat dari sekian api penyemangat lain petualangan gunung! Pasti ada! Dan akan terketemukan.
“Segera!”
Beranjak.... Langkah kaki menurun, menyibak perdu menembus batas hulu sungai. Sungai yang memberi perbekalan air yang diperlukan untuk waktu petualangan berikut.
Menjejak kaki, memasuki dasar sungai yang rimbun tertutupi belukar. Golok tebas terayun, craszkh..... Crezkk!!!
Hampir 1 jam di dasar hulu sungai yang ternyata mempunyai ‘taman’ air terjun tersembunyi. Indah sekali, terkurung di balik belukar paku, tirai water fall setinggi 10 meter dan lebar 4 meter keluar dari batu-batu berlubang dengan aliran yang tenang. Jatuh di kolam berbatu-batu menitiskan aura bening dalam keheningan abadi...
Senja merambat mengurung hari. 3 gelas susu cokelat panas dan sebungkus roti sudah tak mampu lagi membantu menahan dingin lembah hulu sungai, tubuh-tubuh mulai menggigilkan raganya... Itu tanda pendakian harus mulai bergerak kembali. Persediaan air terakhirpun diambil dari water fall hulu sungai...
Tak mau lama-lama mengumbar energi, tubuh-tubuh yang menggigil memaksa terus bergerak. Sampai mentok barisan dinding semi vertikal [±70-80°] di seberang sungai, jejak kaki beranjak dari dasar sungai penuh longsoran batu.
Beruntung tak lagi hujan!’
Kabut terbang telah sedikit membuka segaris medan petualangan...
Terus menyisir scrambling dinding punggungan tipis yang banyak ditumbuhi rambatan Kantong Semar, Rumput Gunung, Kirinyuh, dan Pepohonan berbatang keras.
“Pasti bisa dijejaki sampai puncakan dinding!” ujar Benk menyemangati keadaan.
Setengah jam scrambling, langkah pendakian terhenti, mengamati sekeliling wajah ketinggian tebing di antara semarak kabut terbang...
“Pasti bisa!!” ujar Hendricus Odonk menggandakan semangat keyakinan.
Kali ini dinding tetaplah tegak, tetapi kerasnya batang dan akar-akar pohon yang keluar dari paras tebing bisa menjadi pegangan sekaligus keyakinan pendakian scrambling menuju puncakan dinding. Tak terpikir untuk menghentikan pendakian, membuka area fly camp di lembah hulu sungai... Beku dan Longsor!!!
Satu ruas tonjolan teras tebing sisi kanan yang ditumbuhi pepohonan berbatang keras hingga bagian atasnya, menjadi keyakinan tersendiri senja hari itu... Hanya 100 meteran saja tinggi ke puncak dinding dari hulu sungai...
Sepertinya, takkan langsung tembus ke puncak Burangrang. Puncak punggungan itu adalah Knol yang ada di antara jalur puncak Burangrang menuju arah puncakan Batu Kursi. Knol tersebut lebih dekat ke arah puncak Burangrang ketimbang puncakan Batu Kursi.....
Diskusi kecil terlakukan, harus! Demi menumbuhkan keyakinan, menjaga rasa kebersamaan petualangan.
Bagaimana kalau jalur rintisan nanti mentok?! Membentur sebuah dinding batu besar, vertikal bersih tanpa pepohonan? Lalu di samping kanan kirinya tak ada ruang traversing, melipir guna mencari celah jalur scrambling lainnya??! Bagaimana...???
3 pendaki sunyi saling menatap bola-bola mata.... Merenungkan pertanyaan besar yang mengiris-iris nyali petualangan mereka... Tapi kemudian....
“Kita telah sejauh ini.... Sekarang jam setengah 5! 1 jam setengah ke depan adalah sisa waktu kesempatan ‘bergerak’... Bila tak ketemu juga, kita tidur! Kalau perlu ngegantung terikat tali!” ujar Benk menegaskan semangat jalur rintisan.
Ogun Polo dan Hendricus Odonk tersenyum.... Rasa petualangan alam sunyi memang lekat dengan mereka. Saling pengertian lewat pengalaman-pengalaman pergi bersama, itulah kunci petualangan.
Seremoni do’a terlaksana dengan khusyu’ sesaat kemudian, lalu pendakian di terjal lereng punggungan berlanjut kembali. Perlahan...
Ogun Polo di depan.... Mencari dan memburu celah pijakan kaki serta pegangan tangan di antara akar dan batang-batang pohon. Awal-awal pendakian, keterjalan medan punggungan telah memaksa diri terus menggantungkan nyali dengan mendaki tidak hanya menggunakan kaki tetapi juga dengan kedua tangan, sempurna. Batang-batang dan akar pepohonan yang cukup besar mutlak menjadi tumpuan. Scrambling murni! Dalam terkaman kabut senja dinding-dinding pegunungan Sunda Purba yang maha tebal.
Berburu waktu di hening senja.... Speed pendakian terasa stabil untuk gerak 3 pendaki. Beban di punggung memang terasa memberatkan, apalagi untuk mereka yang membawa carriel standar. Tetapi keinginan meraih mimpi petualangan, menepis kendala yang ada. Keinginan terbesar saat itu tentu saja menapak puncakan dinding purba, menggapai Top Burangrang lalu tidur dalam kehangatan mimpi yang teraih!
Namun, memang tak selalu mudah untuk meraih mimpi sunyi! Wong bermimpi standarpun susah saat ini!
Tiga perempat jam scrambling yang cukup mulus berhasil menambah ketinggian, hanya saja kemudian, celah pijakan dan pegangan mulai susah untuk dicari. Jarak pepohonan di atas tubuh mulai merenggang.
Ogun Polo menghentikan pergerakan, sejenak menatap sisi kiri dan kanan, mencari-cari ruang pendakian. Benk menatap ke sekeliling...... Putih! Lembah curam Ciherang telah tertutup kabut hingga batas ketinggian puncak-puncak dinding yang membentenginya. Susah untuk mencari perbandingan ketinggian diri di saat senja...
Jelang jam setengah 6 sore waktu itu. Masih ada setengah jam tersisa janji awal jalur rintisan selama gerak pendakian belum benar-benar mentok! Terbentur dinding terjal yang sulit untuk terdaki!
“Selama masih bisa berpijak, kita terus!” ujar Benk.
Kali ini Hendricus Odonk gantian menjadi leader.
Pada satu step medan scrambling... Tak ada batang pepohonan yang bisa dijadikan tumpuan beberapa meter ke atas, tetapi terlihat setelah itu medan kembali dengan rapat pepohonan. Hanya ada batu besar... Hasil periksa ke sisi kiri dan kanan... Medan yang terlihat lebih mengerikan....!’ Tebing tegak sedikit berumput, uggh..! Kalau jatuh dari situ, tubuh-tubuh petualang sunyi, pasti langsung menghunjam puluhan meter ke jurang dalam.
Tonjolan batu besar menjadi fokus perhatian... Batuan besar itu ternyata tak sepenuhnya menyatu, terdiri dari banyak pecahan-pecahan. Sekilas tak terlihat karena sebagian tertutup tanah..... Celah berharga pendakian.
Namun, Hendricus Odonk hampir mati terkaget, kala sebuah ujung pecahan bongkahan batu yang terjadikan pegangan, terlepas dan jatuh hampir menimpa badannya... Bruggkh!! Wuszhh... Awas!!
Peringatan pertama! Edan!!!’ Astaghfirullah...
Tapi nyali petualangan masih terjaga.
Hendricus Odonk mencoba lagi, terlihat dengan kehati-hatian yang lebih kali ini... Setiap ujung pecahan dan rekah batuan terperiksa dulu dengan mantap, kalau goyang ia lepas, ganti mencari yang lain atau celah rekahannya ia manfaatkan untuk pegangan tangan. Satu dua tiga.....!
Tubuhnya mulai terangkat. Memanjat sedikit zig-zag ketika tebing batu di atas kepalanya tegak menjulang dengan sangat angkuh. Lengan kanannya menggapai satu tonjolan batu, kaki kanan berhasil mencari pijakan di rongga kecil hasil bongkaran sebuah pecahan batu yang menempel di medan tebing. Tangan kiri segera bergerak menggapai pegangan berikutnya pada ujung rekahan batu besar.... Upzhs!!! Bisa! Tubuhnya terus terangkat, melewati tonjolan batu hinggap di sebuah teras kecil.
Benk dan Ogun Polo masih menunggu... Hendricus Odonk fokus melihat kondisi medan berikutnya....
“Apel!” serunya seraya meneriakkan kata sandi kenyamanan mereka bertiga. Apel!’ Ya, Apel berarti Ok-Ok saja untuk sebuah kondisi medan petualangan.
Cukup lama tak terdengar... Sekali terdengar, suasana pendakian yang mencekam bisa cair oleh teriakan sandi tersebut.
Remaja resah gunung tersenyum. Termemori saat-saat pengalaman mencekam mereka pada petualangan gunung-gunung Sunda Purba sebelumnya.
Tak lama, satu-satu bergantian, Benk dan Ogun Polo melewati jalur batu besar di atas, sementara Hendricus Odonk meneruskan scrambling di antara akar dan batang-batang pohon yang teraih. Jalur rintisan kemudian mengarah ke kanan, di mana terdapat sebuah teras kecil sepanjang sepuluh meter yang menyambung dengan tumpuan batang pohon berikutnya di wajah tebing. Sebagai pegangan meniti teras tersebut, traversing mengandalkan belukar pandan hutan dan akar-akar pepohonan yang keluar dari dalam dinding tanah berbatu di atasnya. Menegangkan!
Senja mulai meremang....
Menerawang pandang... Jelang ujung teras kecil, sebuah batang pohon besar yang menjorok keluar tebing hanya menampilkan pepohonan kecil untuk rintisan jalur selanjutnya... Direct ke arah atas, tebing semakin tegak, mulus tak banyak celah dan pegangan hingga beberapa meter ketinggian tubuh... Mereka tak berniat memanjatnya.... Terbayang kalau terpleset jalur, lembah dalam siap menerkam jiwa!
Menggantung tubuh setengah bertumpu kaki, mengandalkan batang-batang pohon kecil yang alot demi meraih beberapa pilihan akar pohon berikutnya ke depan langkah.... Hati berdegup keras! Mengerikan!!
Hendricus Odonk memanjat pohon besar di ujung teras, sampai satu titik ketinggian ia sedikit meloncat ke sebuah teras kecil yang kembali terlihat. Benk dan Ogun Polo sigap mengikuti. Meniti teras bekas longsoran punggungan tebing yang menanjak ke arah kanan, belukar pandan dan perdu lainnya menjadi teman setia pegangan di atas tubuh. Teras tanah penuh jebakan.... Terkadang ambrol, hanya akar serabut pepohonan yang menyangganya. Sekali pijak... Brolll!!!
Upphhszz!!! Resiko medan ketinggian, membayang-bayang...
Pegangan tangan yang mengeras menjadi tumpuan terakhir penjaga nyali petualangan meniti teras tebing panjang berliku.
Remang senja semakin pekat.... Senter memang ada...’ Tetapi di medan terjal senja hari, mereka tak mau mengambil resiko lebih banyak. Dengan memegang senter di tangan, berarti tubuh ‘kehilangan’ satu ‘alat’ terampuh dalam berscrambling. Dan itu akan mengurangi konsentrasi diri meraih pegangan, sekaligus memperbesar resiko petualangan.
Mendaki dengan bantuan kedua tangan/berscrambling memang enak, menegangkan sekaligus mengasyikkan! Bercumbu dengan wajah tebing, akar dan batang pepohonan, seraya fokus menikmati rasa petualangan di ketinggian gunung... Tak sering terdengar dengusan nafas yang menderu kecapaian, hanya sesekali ketika resiko terpelanting langkah akibat pegangan atau pijakan yang terlepas, terjadi....
Deru nafas konsentrasi & kekagetan plus kesadaran hati yang sangat... Sadar agar lebih berhati-hati bila tak mau tubuh terpelanting ke jurang dalam yang menganga puluhan atau ratusan meter dalamnya.
Diskusi terlakukan....
Terus mendaki scrambling dalam kegelapan..... Ehmm!’ Resiko terlalu besar! Berharap menemukan teras dataran di ketinggian medan berikutnya.....’ Gambling adanya! Kalau ketemu!?’ Ok. Kalau tidak!?’ Tentu sesuatu yang amat menyiksa diri akan mereka alami. Membayangkan tubuh-tubuh lelah, dengan mental yang semakin turun dalam kegelapan suasana kepentok jalur buntu di ketinggian.....??? Harus menuruni lagi punggungan terjal sekedar mencari dataran untuk tidur....???’ Sungguh, menurunkan ketinggian yang telah tergapai merupakan satu kebodohan saat itu! Kecuali, turun sedikit guna menggapai ketinggian pendakian berikutnya.
Hati mereka tak rela membuang-buang energi dan terganggu spirit mental pendakian hanya gara-gara lambat membuat keputusan. Mereka tersadar, hal termahal dalam petualangan adalah diri & jiwa petualang itu sendiri! Ya, fisik dan mental harus terjaga karena sebenarnya dengan keseimbangan 2 hal tersebut, kesempatan menggapai Top Burangrang dari sisi Dinding Utara, akan selalu ada!
Pendakian akan dilanjutkan esok hari... Saatnya bersegera mencari teras kecil lain untuk segera mengistirahatkan tubuh.
Pendakian bergerak perlahan, semangat yang masih ada harus tersimpan dulu. Dalam keremangan lepas senja, energi dan penglihatan fokus mencari sebuah celah dataran untuk recovery fisik dan mental pendakian.
5 menit pandangan mata ke segala arah. Memanjat sebuah batang pohon, menjulurkan kepala menajamkan penglihatan sedikit ke bawah.....’ Teras kecil yang cukup untuk peraduan malam 3 pendaki, terfokus tajam.
Turun seketinggian tubuh... Bregkh!!! Agak riskan! Tetapi saat itu tak terlihat pilihan lain. Nyala senter dalam pekat kegelapan masih sempat menunjukkan bahwa mereka akan tidur di satu ceruk teras bekas longsoran batuan tebing. Dalamnya lembah Ciherang di bawah tak tertembus nyala senter, begitupun dengan batu yang sengaja dijatuhkan ke bawah..... Bebas! Melesak tak berbunyi tertelan senyap belantara ketinggian. Miris hati.... Tetapi, bersegera dengan kegiatan memasak, membuka setengah tenda, berharap tak turun hujan, bersujud pada Tuhan, mereka berhasil mengusir ketakutan yang ada!
Tubuh yang lelah membuat tidur 1/2 duduk malam hari cukup ternyenyak. Kelelahan telah mengalahkan dingin malam alam pegunungan Sunda Purba hingga pagi menjelang.
Pukul 05.15 Wib.
Alam masih terlalu gelap terkurung kabut pegunungan, belum cukup terang untuk membangunkan burung-burung hutan supaya berkicau di pagi hari. Remaja resah gunung terbangun, menyiapkan peralatan memasak, mengecek persediaan air yang tinggal cukup untuk 1 hari.... Makan pagi hari ini harus berenergi!
½ jam berlalu.... Sesekali sambil menikmati segelas teh manis, bersender di tebing, duduk dengan lutut tertekuk menghadap arah lembahan besar Ciherang, Benk iseng menggoyang-goyangkan ujung kaki 2 rekan pendakiannya yang menjorok ke luar pintu tenda.....
“Hudang, hudang euy....! Aya cai haneut!” ujar Benk sambil terus memandang magis belantara lembahan.
Terang yang menjelang, membangkitkan kicau burung yang mulai mengharmoni alam, bersama silhouet-silhouet fajar gunung yang memagis jiwa..... Ahhh, anugerah pagi hari terindah harmoni alam ketinggian tebing-tebing Sunda Purba. Damai sekali diri yang berpetualang....!
Tegukan teh terakhir begitu nikmat di udara pagi belantara ketinggian...
Benk bergerak merangkak mengambil segelas air, berniat berkumur membersihkan gigi dan mulut, bergerak sedikit ke tepian teras...... Wuuckhhhz.........!!! Mukanya memerah, benar-benar merah! Pegangan tangannya di batang pohon refleks terkuatkan.
Heyy! Danger!!! Magis keindahan Lembah Ciherang terlihat begitu dalam.... Benk berusaha menenangkan hentakan kaget hatinya. Berdiri perlahan, memantapkan pijakan dan pegangan, memutar kepala meluaskan pandangan... Terlihat puncakan Masigit, Gedogan 1 & 2, juga beberapa rocky.... Upzzh!! Tersadar ketinggian tempat diri tertidur malam hari telah lebih tinggi dari puncak Masigit 1884 Mdpl...
Jauh di seberang Timur Laut Lembah Ciherang, puncak-puncak gunung tersebut memberi magis semangat ganda petualangan selanjutnya....
“Hudang euy!!! Longsor! Danger!!!” seru Benk.
Seketika 2 anak muda terbangun....
“Wuahh..! Aya naon euy!?” Hendricus Odonk tergugah.
“Santai..., jangan banyak bergerak!” ujar Benk lagi sambil memberi isyarat tapak tangan.
Ogun Polo terbangun, bergerak pelan ke luar tenda mendongakkan kepala menatap arah lembahan..... Wuiiiiggghhhh!!!
“Gelo!” serunya.
Giliran Hendricus Odonk memaksa terbangun... Penasaran!
Terjawab seketika! Matanya terbelalak.... Weisszhh!!!
“Kita harus cepat pergi dari sini...!” ujarnya menatap kekosongan.
Benk menunjuk teh manis hangat sebagai jawabannya. 2 rekan mudanya segera tersenyum menikmati saat tegangnya. Tak menunggu lama, Ogun Polo segera menyalakan Trangia... Semua ingin makan besar pagi itu.
Kengerian di satu titik ketinggian tebing pegunungan Sunda Purba perlahan menjadi teman setia pelatih mental. Hampir 1,5 jam acara memasak, makan pagi plus orientasi peta, dan packing perlengkapan bersama hembusan udara angin pagi yang segar dengan kicau burung warna warni lincah bergerak dari dahan ke dahan pepohonan yang tumbuh menempel di wajah-wajah tebing...
Pukul 08.00 Wib.... Tepat, tak ada waktu bersantai lagi kecuali puncak Burangrang yang merupakan Top puncakan tertinggi dinding-dinding pegunungan Sunda Purba telah tergapai.
“2 jam! 2 jam normal!” seru Benk mengingatkan hasil diskusi orientasi peta pagi hari.
Memang, melihat garis-garis kontur dinding-dinding terjal pegunungan Sunda Purba pada Peta gunung hasil photo copy-an VS medan sebenarnya, demi memperkirakan tingkat kemiringan medan punggungannya terkadang ‘Blurr’... Susah untuk memilih salah satunya sebagai jalur direct!
Mungkin karena faktor medan tanah berbatu yang rawan sekali runtuh! Maka keyakinan jalur scrambling murni yang terpilih lebih banyak faktor alam terbarunya sendiri.
Pepohonan berbatang keras dan belukar pandan menjadi andalan pijakan dan pegangan diri menambah ketinggian. Selama masih ditumbuhi pepohonan, medan tanah akan lebih kuat daripada yang tak berpohon....
Itu prinsip demi menjaga keyakinan jejak petualangan. Perbandingan ketinggian puncak-puncak gunung terdekatpun menjadi andalan mental pendakian bahwa upaya menambah ketinggian tinggal memerlukan waktu beberapa saat saja untuk berakhir......
Bila keadaan medan jalur rintisan ‘normal-normal’ saja direct ke atas, fisik dan mental mendukung, pandangan mata tak salah membaca ketinggian... Sepertinya tak sampai 2 jam, puncakan dinding purba akan tergapai. Jika sudah sampai di titik tersebut, tak akan ada persoalan berarti. Puncakan dinding di atas adalah sebuah jalur setapak barisan dinding-dinding Pegunungan Sunda Purba, antara puncak gunung Burangrang dan puncakan Batu Kursi. Itu keyakinan hati guna memulai pendakian pamungkas!
Pendakian bergerak perlahan penuh gairah..... Setengah jam awal rintisan scrambling berlangsung sulit, jangkauan-jangkauan point untuk pegangan tangan berjarak cukup jauh. Perlu ketegaran ekstra menjaga mental pendakian. 3 pendaki resah masih bertahan, beruntung pemandangan di belakang tubuh begitu cerah memamerkan segala keindahan dan kemegahan deretan pegunungan Sunda Purba.
Di satu titik ketinggian, jejak pepohonan berbatang keras benar-benar habis, terputus bongkahan raksasa sebuah batu besar tegak lurus, 6 meteran saja tingginya, tetapi itu cukup memiriskan hati untuk mencoba memanjatnya secara direct.... Sedangkan di atasnya terlihat jejak pepohonan yang cukup banyak. Melipir ke kiri... Mentok medan tebing tegak ber-overhang, mundur kembali melipir ke kanan berpegangan pada akar dan batang pandan hutan beberapa saat.... Buntu, terbentur dinding batu tegak lurus atas bawah yang miskin pepohonan....
Hendricus Odonk mendekat ke Ogun Polo.... Ia membuka carriel yang masih tersandang di punggung rekannya, diambilnya gulungan tali kernmantle. Cerdas!
...... Hanya tali!?’
Benk menerka maksudnya, lalu segera memahami. Begitupun Ogun Polo yang segera menutup kembali carrielnya.
Ujung tali disimpul beberapa kali, beberapa meter diulur lalu diayun-ayunkan........’ Dilempar ke atas...... Huppsss!!!’ Ujung tali melewati sebuah batang pohon di atas bongkahan batu besar yang menghadang. Digoyang-goyangkan sebentar untuk menurunkan ujung tali yang telah tersimpul sebagai pemberat. Perlahan... berhasil, 2 utas tali cukup kuat tertambat sebagai pegangan tubuh memanjat bongkah batu besar tersebut satu persatu......
Benk melongok ke bawah jalur yang baru saja terlalui... Baginya, itu satu hal mengerikan yang pernah terlakukan. Mungkin karena terpikir tak ada pilihan lain saat itu, dirinya berani melakukannya...!
Nyali dan tali benar-benar menjadi senjata andalan pendakian kali ini. Beberapa kali carriel Ogun Polo harus ditarik ke atas menggunakan tali demi mengurangi berat beban tubuhnya. Scrambling di batang pohon yang tak terlalu besar, tumbuh tepat di gigiran teras tebing memang riskan dengan beban berlebihan! Sekedar safety.
Tapi rasa hati petualangan percaya bahwa melakukan hal tersebut, jauh lebih nyaman daripada meladeni medan pendakian saat itu dengan beban carriel di punggung...
Tak terbayang kalau salah satu tubuh jatuh melayang, sesekali terhantam batang-batang pohon untuk kemudian langsung menghunjam bumi di kedalaman hutan lembah Ciherang..... Ugkhh! Otak yang mengeras tak berani membayangkan kejadian tersebut!
Teras kecil yang terjejak meliak-liuk, ke kanan beberapa langkah lalu berbelok ke kiri, menanjak di antara jejak langkah yang terhadang batang-batang pepohonan.... Pegangan tangan mengandalkan akar pohon dan rerumputan.... Unik sekali jalan kecil tersebut! Tuhan telah memudahkan segalanya pagi ini! Ya, senyatanya rintisan jalur hari itu, sekali melangkah selalu berhasil menambah ketinggian, 3 pendaki berhasil menemukan jalan keluar dari setiap hadangan langkah. Mungkin istirahat malam yang menyegarkan fisik dan mental menjadi faktor utama semua itu...
Ternyata, teras kecil yang berliak-liuk tersebut mengantar jejak pada satu longsoran ujung punggungan gunung. Terus melipir, merangkak ke arah kiri mengikuti elips medan kontur....’ Mentok!
Sisi kiri ujung longsoran tebing punggungan tak memberi banyak pilihan selain dinding batu tegak lurus! Mundur kembali ke ujung punggungan, melihat ke atas menerobos pandang hadangan belukar duri dan pecahan bebatuan sebesar-besar kepala, membaca kemiringan medan......!’
Mau tidak mau harus dicoba!
Benk pertama yang memanjat...
Satu langkah pemanjatan, golok tebas terayunkan di atas kepala, berulang-ulang menebas belukar menyibak duri menguak rintisan jalur. Ceracah dahan beterbangan, mata terpejam.... Beerrrrrrr!!! Werrrr!!! Terus mendesak, menambah ketinggian. 2 langkah pijakan kaki menambat posisi tubuh... Terus dan terus hingga tak terasa sudah 10 pijakan kaki.....
Hingga... Medan kontur yang tegak berubah curam, tetapi belukar duri masih menghadang langkah. Benkpun terus merangsek.... Creask! Crezskh!! Brughk....!!!’ Ia menjatuhkan diri terduduk di kemiringan medan..... Untuk pertama kalinya, remaja resah gunung bisa mendudukkan tubuh sambil selonjor dengan cukup nyaman tanpa takut tergelincir jatuh dari medan pendakian!
“Apel!!!” seru Benk pada rekan pendakian.
Tak terjawab dengan suara, tapi beberapa saat kemudian menyembul kepala dengan balutan bandana biru muda.... Hendricus Odonk bergerak menyeruak belukar mendekat ke arah Benk. Tak lama disusul dengan Ogun Polo ikut merapat.
“Wuuaach! Nikmatnya nyantai berselonjor!” seru Hendricus Odonk.
Jejak pendakian terhenti sejenak, kali ini bukan karena sulit memilih jalur rintisan scrambling tetapi justru medan pendakian berikutnya terlihat tak setegak tebing di bawahnya.... Remaja resah gunung berusaha mengais sisa semangat keberaniannya.
Pukul 09.15 Wib......
Pepohonan yang tumbuh di sekeliling medan yang terjejak, berbatang lebih besar daripada pepohonan yang tumbuh di wajah-wajah tebing di bawahnya. Hal ini membawa keyakinan diri bahwa semakin ke atas mereka takkan lagi menemukan dinding tegak lurus. Memang, medan berpohon-pohon besar dan rapat ini hanya seruas tonjolan punggungan tipis, tetapi itulah jalan terbaik saat itu.
Menyisir ke arah kiri terbentur jurang dalam maha terjal, begitupun ke arah kanan! Ketika menyisir ke arah kiri, sebenarnya ada keyakinan dapat melihat tebing punggungan yang mengarah langsung ke puncak tertinggi Burangrang, tetapi kabut tebal menghalangi kilas pandangan... Seperti ada sesuatu sebenarnya...’
Sesekali duri-duri rotan yang bandel masih menghadang.... Rrreettt!... Rrettt!! Crakzsh...! Heghh!! Seketika ayunan golok tebas membebaskan pergerakan tubuh, jemari tangan sigap menyibak ujung batang duri rotan yang menyangkut di sekujur pakaian....
Kesabaran hati di area pendakian berbelukar lebat, benar-benar diuji. Antara rasa ingin segera membuktikan mimpi petualangan, melawan batas kemampuan diri mengelola rasa gembira dan takut yang ada! Saat itu jelas, 3 pendaki sedang gembira.... Tapi justru dalam kegembiraan tersebut, kesulitan memanage perasaan diri amat terasa. Kulit-kulit lengan yang tergores ranting duri menandakan semua itu, deru-deru nafas yang menderu mempertegas tersingkapnya batas kelemahan diri!
Terlalu terburu-buru termakan keyakinan! Keyakinan bahwa medan punggungan yang sedang terjejaki, puncakannya merupakan jalur rangkaian dinding-dinding pegunungan Sunda Purba antara Puncak Burangrang - Batu Kursi, dan puncakan punggungan tersebut akan lebih dekat ke arah Top puncakan Burangrang! ... Huaaghhh!!!
20 menit mendaki menerabas jalur..... Bregkh!!! Benk merebahkan tubuh di rimbun belukar perdu. Kehabisan nafas! Dua rekan mudanya sudah terlebih dulu menjatuhkan tubuh ke medan tanah. Mereka memang perlu segera istirahat sejenak! Jiwa yang sunyi tak boleh terlalu gembira!
Medan punggungan semakin melebar, cuaca di atas belantara gunung semakin terang di depan jejak..... Kelopak mata remaja resah gunung terbuka perlahan. Rasa lelah telah membius kantuknya walau hanya sesaat. Sesaat yang teramat berharga!
Benk melihat sekeliling belantara, sunyi... Lalu ke sekujur tubuh.... Kulit jemari tangan, kulit kedua lengan... Meraba-raba kulit wajah... Penuh goresan! Lukisan luka!! Luka petualangan sunyi!!!
Ternyata sarung tangan semi full dan kaus lengan panjang tak cukup melindungi tubuhnya di pendakian Session V ini. Perih....! Mungkin satu harga yang mesti terbayar... Bahkan kadang terselip rasa bangga bahwa dengan kondisi seperti itu, jiwa pencarian belum menyerah! Saat ini ia masih punya keinginan berpetualang! Begitupun dengan rekan pendaki mudanya.
Bangkit ke arah matahari tenggelam. Beranjak beriringan bertiga, sesekali memilih medan pijakan kaki dan terabasan jalur untuk gerak ternyaman. Pergerakan tubuh berjalan pelan, namun pasti. Kepastian kali ini bukan hanya tentang puncak dinding punggungan yang terdaki, namun juga termasuk kepastian fisik dan mental setelah impian tergapai.....’
Hari belumlah petang, setelah Puncak Burangrang via Lembah Ciherang terjejak....... Apalagi setelah itu!?
Langkah kaki semakin mantap di antara kian terangnya medan yang terjejak. Beberapa pohon kecil tersibak.... Tak sampai 25 menit mendaki, ternyata semua kepenasaran hati selama ini terjawab......’
Remaja resah gunung menjejak di sebuah jalan setapak puncakan dinding purba yang panjang berliku...... Bergerak sedikit ke arah kanan, menyibak perdu, terlihat sebuah Knol kecil [Rocky 4] yang ditumbuhi pepohonan rapat. Benk berusaha mengembalikan segala ingatan pendakian-pendakian gunung Burangrang-nya.....’ Dari Knol punggungan, kembali ke titik awal jalan setapak...
Tiba-tiba.... Refleks dirinya bersujud! Kemudian memeluk 2 rekan pendakian sunyi. Erat sekali!
“Thanks kawan! Hidup masih terberi untuk kita!!!” seru Benk.
Dari arah pendakian pagi hingga menemukan jalan setapak antara puncak Burangrang dengan puncakan dinding Batu Kursi, mereka berbelok ke kiri untuk meraih puncak tertinggi dinding-dinding pegunungan Sunda Purba... Top puncakan Burangrang!
Jalur setapak tipis yang cukup familiar, namun tetap harus dijejaki dengan kehati-hatian tinggi. Turun naik, bersama ketegangan vertikal dinding sisi kiri, jurang dalam ratusan meter hampir tegak lurus. Menyibak belukar gunung, sesekali berpegangan pada batang pohon demi keseimbangan tubuh ideal.
Kabut terkuak..... Dinding Utara Puncak Burangrang terlihat di arah jam 10 perjalanan. Indah sekali puncak Burangrang hari itu. Magis gunung!!!
Setelah melewati jalur bekas longsoran, tak lebih dari 15 menit menapak jalur tanjakan terjal terakhir hingga puncak tertinggi Burangrang.... Sebuah pilar Trianggulasi putih tertanam di puncak sunyi. [Sisa Pilar Trianggulasi lama, sempat terlihat oleh remaja resah gunung teronggok di satu teras tebing Utara Burangrang, saat dirinya sekilas pandang menerawang arah Selatan seusai lolos dari jalur scrambling di longsoran ujung punggungan tipis]
Sekali lagi, remaja resah bersujud....
Lama sekali, teringat rangkaian-rangkaian pendakian gunung-gunung Sunda Purba selama ini.
Hendricus Odonk dan Ogun Polo menghampiri, seraya memeluk sahabat petualangannya. Keharuan jiwa tersuci hinggap pada kebersamaan diri, tanda bahwa memang bagi mereka, rangkaian pendakian-pendakian tersebut bukan untuk main-main, gagah-gagahan, nekat-nekatan!!! Namun pasti, tersadari bahwa selama ini, di antara keterbatasan waktu, keterbatasan diri..., rasa kepetualangan yang masih terpelihara dalam hati harus diberi aktualisasi lebih dari sekedar perjalanan gunung-gunung sebelumnya.
Mereka harus mencari, membaca, mencatat, mencoba dan meresapi medan-medan petualangan yang belum pernah terlampaui. Ketika itu berhasil...... Wawww!!!!!
MENGEMBARA MENCARI ILMU PENGETAHUAN ADALAH PENGEMBARAAN MENCARI KESADARAN JIWA
RASA CINTA NEGERI MEMANG TAKKAN PERNAH TUMBUH BENAR
TANPA MENGENALNYA DARI DEKAT!!! DARI DEKAT!!! DARI DEKAT!!!!!
Saat-saat haru kegembiraan menepi...
Satu rombongan pendaki tiba dan menghampiri remaja resah gunung di puncak Burangrang.
“Naik dari mana, kang....!?” tanya seseorang dari mereka.
Benk tak bisa menjawab, mulutnya seperti terkatup, tetapi jari telunjuknya menunjuk arah lembah Ciherang di Utara.
“Bisa gitu, kang....!?” ucapnya lagi.
Benk, Hendricus Odonk dan Ogun Polo tersenyum...
Manis sekali!
Ciherang..... Ya!
Lembah misteri sisi Utara Puncakan Burangrang... Magis belantara purba... Penuh liak liuk sungai berjeram, curug-curug kecil dan besar bertingkat-tingkat, belantara hutan heterogen lebat berbatang keras setinggi puluhan meter, Greenwood hingga Redwood, peperduan yang beraneka ragam, pohon berdaun lebar yang merambat seperti Waterblat, pohon pemangsa serangga seperti Kantong semar, dan Epifit seperti Pakis-pakisan dan Anggrek hingga pohon berduri penyengat seperti Rotan dan Tareptep, pohon ‘anti Ular’ Kayu Lemo, Jamur-jamur unik dari yang berbentuk payung, kipas sampai berbentuk bola sebesar bola basket berwarna oranye. Kicauan burung-burung berwarna warni, kuning-merah-biru hingga hijau muda, suara-suara Primata seperti Lutung Hitam, Owa ataupun monyet terbang Surili, plus jejak-jejak Uncal, Babi Hutan, sarang Tawon Hutan, dan sarang Phantera!
Di sana, jauh di kedalaman hutan belantara, kita akan temukan damai di kesunyian, tanpa suatu keangkuhan yang harus ditunjukkan. Keaslian tentang kehidupan yang semestinya harus terjadi. Jika kau mengerti, kita akan sulit menemukan ketakharmonisan gerak kehidupan di belantara.
Air mengalir pada alurnya di sungai kecil dalam kemiringan tanah yang berliku dan kadang terjal, dari atas terus ke bawah. Sementara ketinggian pohon mengikuti kontur tanah yang tak rata tapi berharmoni, bila kau lihat dari puncak tertinggi sebuah gunung, kau akan benar-benar tahu bahwa pohon-pohon itu hidup membentuk harmoni gerak hidupnya.
Binatang hutan, mereka mempunyai siklus rantai kehidupan sendiri jua. Tak ada dendam antar mereka, walau harus berlaku hukum rimba, tetapi mereka menyadari bahwa semua itu bagian harmoni bagaimana mempertahankan generasi kehidupan alam hutan belantara.
Sungguh, tak banyak kejanggalan hidup jauh di kedalaman hutan.
Lebih banyak kejanggalan hidup akan kita lihat di kota dibandingkan jika kau melihat kesaksian itu di hutan belantara.
Jam 10.50 Wib...... Elang terbang di atas langit Ciherang, terlihat maha anggun dari puncak Burangrang, sayapnya berkepak sesekali...
Sudah cukup segala kesenangan hati!
2 rekan pendaki muda menatap remaja resah gunung......
Benk menangkap maksudnya..........
Saat itu masih hari Minggu, sedangkan besok Senin masih libur tanggal merah. Artinya masih cukup waktu berpetualang di area gunung Burangrang yang belum pernah terambahi.
Jiwa pencarian itu masih ada.............
Dari Puncak Burangrang, turun lewat jalur normal ke Lawang Angin tempat warung Abah Kumis hanya butuh waktu 1-2 jam saja, apalagi turun gunung di hari yang cerah. Kalau memutuskan turun gunung lewat jalur normal, sungguh waktu libur yang tersisa akan terbuang sia-sia. Petualangan harus terus berjalan selama waktu dan keinginan masih terberi....
Membuka Peta dan orientasi medan, jarum kompas berputar...... Perbekalan makanan dan air dicek ulang.... Makanan tersisa untuk 3 kali masak lagi, dengan persediaan air 1,5 botol mineral besar.
Waktu yang ada ditetapkan sampai esok siang harus sudah keluar hutan menuju rumah dan kediaman masing-masing..... Keputusan telah diambil. Tatapan mata 2 rekan pendaki muda telah mendapat jawabannya.
“Kita turun lurus ke depan... Langsung!” seru Benk menunjuk arah Tenggara.
“Ok!” jawab Hendricus Odonk mantap.
Golok tebas disiapkan, tekad petualangan dimantapkan, tetap dalam kewaspadaan demi keselamatan langkah pencarian. Turun gunung, Puncak Burangrang - Lawang Angin direct arah Tenggara!
Medan sisi Selatan Puncak Burangrang memang tak seterjal sisi Utaranya yang hampir tegak lurus. Lebih banyak pepohonan berbatang keras yang tumbuh di lereng-lerengnya, tetapi tetap saja berkategori amat curam.
Satu kalimat yang dapat menghibur ialah seperti ungkapan Hendricus Odonk.....
“Minimal kalau tergelincir, tak langsung jatuh ke dasar lembah tetapi nyangkut dulu di belukar dan pepohonan!”
Serius...’ Ya saat ia mengucapkan kalimat tersebut mimik mukanya memang terlihat serius, dan sahabatnya menanggapi dengan senyum mengiyakan. Entahlah, mungkin itu pembenaran atas sikap petualangan diri yang masih terdera rasa penasaran sudut-sudut tersunyi pegunungan Sunda Purba.
15 menit perjalanan..... Langkah terus menurun, mendesak medan curam penuh semak belukar lebat, tapak-tapak kaki seringkali tak dapat terjejak langsung di medan tanah bebatuan tetapi di belitan dahan belukar yang maha rimbun. Braggkh! Bruzzhh!! Sesekali pijakan kakipun terperosok ke dalamnya rerimbunan akar belukar hutan.
Tetapi semua itu terasa menyenangkan, apalagi ketika uluran tapak tangan persahabatan dalam petualangan beberapa kali terjadi....
“Ayo...!” seru Ogun Polo sambil mengulurkan tapak tangannya pada Hendricus Odonk yang terperosok pijakan jejak belukar.
“Thank’s Pol!” ujar Hendricus Odonk sungguh-sungguh.
Benk tersenyum.... Mereka semua tersenyum menyaksikan dan mengalami momen-momen fun alam hutan gunung dalam jejak petualangan jalur-jalur tersunyi di pengalaman hidup.
Mental petualangan merintis dan mencari jalur baru memerlukan nilai lebih dibandingkan mendaki dan menuruni gunung lewat jalur normal....
Ternyata pula Benk merasakan bahwa kepekaan jiwanya semakin terasah terhadap hal-hal yang selama ini teranggap sebagai hal biasa dalam petualangan, namun bila disimaki kembali dalam kondisi tertentu...... Momen persahabatan lewat jabat erat tapak tangan antar 2 petualang, merupakan sesuatu yang mahal untuk hidup jaman sekarang yang terbiasa saling mementingkan diri sendiri.
Takkan mungkin selamat.... Takkan mungkin selamat kalau hidup sendiri!
“Kang....!!?”
..... Huzzh, Benk tersadar dari hening lamunan. 2 pendaki muda menghampirinya. Duduk berdekatan, saling melepas pandang ke segala arah menikmati daun-daun berguguran tertiup hembus angin gunung yang menyejukkan.
“Kita santai dulu seperokoan....!” ujar Hendricus Odonk sambil menyulut sebatang sigaret. Wusshhh’ nikmat sekali melihat caranya menikmati waktu dan hidup terbarunya.
Tak lama berselang, kembali menjejak hutan kecil area pepohonan Talas Hutan berdaun-daun super lebar. Tumbuh di antara medan bebatuan yang menurun curam dan basah. Air....!??’
Terus bergerak, turun. Sesekali mengambil persediaan air tambahan dari air hujan yang tersimpan di sela-sela batang talas, 3 pendaki terus menyusuri medan bebatuan curam tersebut.
Berdasar orientasi peta, medan lembahan curam memang akan sering tertemui jejak diri, tetapi rasanya terlalu cepat. Tak sampai 30 menit perjalanan turun dari puncak Burangrang ke arah Selatan...
Penyisiran langkah sampai pada bentang area hulu sungai berjeram curam. Selepas area belantara kecil Talas Hutan, semakin terlihat aliran air keluar dari sela-sela bebatuan. Menyegarkan, menyenangkan sekaligus menambah rasa petualangan diri.
Aliran sungai yang masih terpecah-pecah mereka susuri hingga ke gigir jeram besar penuh belukar semak. Susah untuk melihat kondisi di bawahnya, tetapi jelas terdengar sebuah air terjun besar menjadi lintasan selanjutnya hulu sungai yang baru saja terjejaki.
Mendesak, menerabas, menyibak belukar semak, ingin tahu bagaimana kondisi medan di bawah gigir jeram yang terjejak....’ Tetap tak terlihat dengan jelas.
3 pendaki memutuskan menuruninya, menuruti rasa petualangan yang masih terberi. Tali Kernmantle dikeluarkan dari carriel Ogun Polo, ditambatkan pada sebuah batang pohon sebagai anchor.
Hendricus Odonk menggunakan tali Kermantle sebagai andalan menuruni tebing air terjun besar yang tertutup semak belukar, semangat dan sigap serta penuh keberanian... Perlahan... Sesekali lengan dan kakinya menyibak ranting dahan yang menghalangi gerakan tubuh. Keberanian, sekali lagi perlu keberanian lebih menuruni jeram besar ini! Mistis, binatang melata, binatang buas atau hal-hal buruk lainnya.
Heyyy.... Sunyi, senyap beberapa saat.... Menunggu. Tiba-tiba..’
“Apelll!!!”
Benk dan Ogun Polo yang menunggu harap-harap cemas, hafal benar kata sandi kenyamanan tersebut.
“Ok!!!”
Segera bergerak meraih tali yang telah bebas, menuruni jeram hampir 15 meter tingginya. Tak terlalu lama karena rintisan jalur turun yang telah terbuat cukup menolong pergerakan Benk dan Ogun Polo yang bergiliran rappeling jeram.
Sungguh sunyi dan senyap keadaan di bawah jeram besar tersebut. Jatuhan air terjun laksana tirai tipis di dinding jeram, sesungguhnya merupakan keindahan Burangrang yang tersembunyi.
Betapa tidak... Jatuhan tirai air selebar 10 meteran tersembunyi di antara rimbun rerumputan dan lumut-lumut dinding batu vertikal berhias jutaan embun, terlihat dari teras dasar jeram, terasa bagai bius penyejuk jiwa. Tetesan-tetesan air, dan gemericik alirannya dalam kesunyian lembah raksasa begitu terdengar magis mengharmoni suara alam yang bening.
Mengambil momen alam sambil terus menikmati suguhan mahal alam Burangrang. Terbetik satu keyakinan, ternyata memang kalau hati mau sedikit saja lebih dalam menjejakkan kaki petualangan diri, belantara hutan yang dekat bahkan biasa terkunjungi, niscaya akan menyuguhkan momen alam terbaru, dan bila itu terekam dalam memori hidup, sungguh sesuatu yang dapat menggairahkan kesepian hati!
1/2 jam dalam kungkungan jeram raksasa, sisi Tenggara Puncak Burangrang. Raga yang mulai menggigil menahan dingin udara lembah air terjun memaksa 3 pendaki untuk segera bergerak, mengikuti alur sungai yang tersembunyi rimbunnya pepohonan khas hulu sungai, Pisang Hutan, Honje, Pulus, Konyal, Pandan dan belukar lembah.
Langkah kaki terhenti ketika tumpukan batang-batang belukar tidur yang terinjak terlalu dalam terperosok ke bawah... Bruzzkh!!’ Hampir saja Benk terseret ke dalamnya...!
Paras mukanya menegang, bergerak mundur beberapa langkah... Ternyata jeram lanjutan!’ Dataran alir sungai yang baru saja terlalui hanyalah sebuah teras dari teras-teras berikutnya sebuah sungai gunung yang berjeram-jeram.
Rasa percaya diri masih amat tinggi untuk terus berpetualang, hanya saja kenyataan, bahwa uniknya alam terkadang juga kerap mengingatkan anak manusia akan sebuah resiko berpetualang....
Sejenak menenangkan diri, menajamkan konsentrasi pikiran...
Jeram yang membentang di depan langkah kali ini memperdengarkan jatuhan air terjun yang deras dan keras, tetapi yang lebih membuat diri berpikir keras mencari jalan lain ialah kedalaman jeram dinding lembah tersebut, semakin gelap suasana karena jepitan 2 buah tebing punggungan raksasa di kiri kanan jeram.
Tak mau terlalu lama terhunjam ketegangan, mereka membanting arah ke Timur. Dinding sisi kiri menjadi alternatif jalan keluar dari lembah curam yang terjepit 2 dinding punggungan raksasa.
Beberapa meter jejak langkah, menepi di sudut dasar dinding punggungan raksasa... Namun, menjadi sesuatu hal yang sulit untuk keluar dari lembah curam tersebut. Beberapa kali mencari tempat scrambling tak jua ada! Mengandalkan belukar di satu langkah ketinggian, tetapi senyatanya, untuk langkah selanjutnya cengkram jemari tangan tak menemukan sambungannya! Srett..! Bruggh!! Jatuh dan jatuh kembali.... Melihat dan mencoba jalur turun dari puncak jeram saat pertama kali menjejak..., scrambling ataupun memanjatnya begitu sulit terlakukan!
Tak nyambung! Menyimpul ujung tali dan melemparnya ke batang pohon demi sebuah tambatan.... Uzzhhh! Tak sampai-sampai! Terlalu tinggi!
Pukul 13.15 Wib.
Hampir satu jam 3 pendaki telah berada dalam kungkungan lembah jeram raksasa. Lama tak berhasil mencari jalan keluar membuat raga yang kelelahan mulai goyah dan sesekali menggigil miris membunuh nyali.
Sangkur dikeluarkan, mencoba menatah tanah berbatu di tiap langkah pemanjatan.... Beberapa kali dicoba, beberapa kali pula asa tak sampai.
Remaja resah gunung terduduk, diam memandangi tinggi dinding-dinding alam yang seakan memagari gerak langkah hidupnya...
Sementara ingatan tentang kehangatan keluarga di rumah mulai sesekali melintas di benak tersunyi. Panik!? Iya. Benk mengakui rasa itu mulai tumbuh walau masih menerawang di otaknya.... Tiba-tiba, sesuatu berusaha membunuh rasa petualangan diri! Susah untuk tersebutkan, yang jelas pikirannya digiring pada satu hal....
Beberapa hari lagi di gunung, mungkin tak masalah bagi dirinya, juga bagi rekan mudanya yang energik. Tetapi janji kepada istri yang dalam beberapa bulan telah sering tertinggalkan demi petualangan gunung-gunung Sunda Purba terasa mengusik jiwa.
“Hati-hati.... Jangan telat ya A’...!” pesan istri tercinta beberapa hari lalu jelang kepergian.
Benk tahu, istrinya seorang Pecinta Alam aktif semasa mahasiswa, namun sebenarnya ia berat melepas dirinya. Berkali-kali pergi ke tujuan pendakian yang sama, walau iapun mengerti petualangan remaja resah gunung kali ini merupakan perjalanan panjang yang tak bisa dituntaskan dalam sekali karena keterbatasan waktu libur pekerjaan. Ia sedang hamil muda saat ini.....!
Petualangan panjang remaja resah gunung di pegunungan Sunda Purba sesungguhnya telah mencapai ujungnya! Benk harus menepati janji untuknya, untuk anak keturunannya nanti!!!
Sunyi gunung semakin sunyi...
Tinggi dinding yang paling mungkin mereka panjat sekitar 15-10 meter saja, menurun ke arah Selatan sesuai arah kontur punggungan dan lembahan gunung. Setelah lewat ketinggian vertikal tersebut, kontur medan punggungan akan berubah lebih mendatar.
Di antara asa ketakutan yang mulai menyerang asa keberanian yang tersisa, mereka mencoba menyederhanakan masalah. Setelah mengalami banyak kisah petualangan yang menegangkan sekaligus mengasyikkan di pegunungan Sunda Purba, apakah harus terhenti di lembah dalam dan sunyi ini???!
“Kalau harus terhenti di sini, kayaknya tidak harus mudah, friends! Kita sedang mencari!’ Resiko apapun jika telah berusaha, kita serahkan pada Tuhan!” seru Benk menyebut nama Tuhan, menggali keteguhan hati, menahan kepanikan agar tak makin membesar.
Keheningan terasa semakin senyap, angin lembahanpun seakan berhenti..... Hendricus Odonk menyambut motivasi remaja resah gunung.
“Kita coba memanjat.... Free!” ujarnya sambil langsung meraba dinding tanah berbatu di depannya.
Ia mengorek-ngorek sesuatu dengan jemari tangannya..... Terus, terus dan terus, terkadang dibantu ujung sangkur. Satu dua akar pohon dalam tanah mulai terkuak, satu dua pijakan mulai terbuat sampai beberapa meter ketinggian tubuh....
“Sloww.... Tapi tidak jatuh! Pasti bisa!” serunya seraya memulai pemanjatan.
Tak boleh jatuh! Kalau jatuh..... ???’
Benk dan Ogun Polo yang menunggu giliran tersenyum kecut.
Hampir 15 meter ketinggian dinding tebing punggungan yang harus terpanjat, free! ...... Jalan keluar terbaik yang dapat terpikirkan saat itu, dan sedang mereka coba lakukan!
Setengah pemanjatan, Hendricus Odonk akan melihat kondisi berikutnya, kalau memungkinkan tali akan diulurkan untuk Benk dan Ogun Polo yang masih di dasar lembah..... Kalau tak memungkinkan, keduanya harus berupaya sendiri-sendiri memanjat dinding tanah berbatu setinggi 15 meter untuk dapat keluar dari kebekuan lembah sunyi..... Tak ada tersisa alternatif berikutnya lagi!
Yakin!
Hendricus Odonk telah sampai pada setengah ketinggian yang harus terpanjat... Wuizzkz! Mengerikan juga melihatnya dari bawah.... Kalau terjatuh...!?’ Aghh... Tak boleh ada ‘kalau’ lagi!
Ia memberi isyarat... Tunggu’
Ternyata, ia masih yakin dengan gerakan-gerakan ringan memanjatnya, balance bersama pegangan-pegangan yang ia raih, buat dan temukan! Badannya selalu diusahakan dekat dengan dinding agar beban tubuh tak semakin berat dan keseimbangan tubuh mudah terjaga. Beberapa menit berlalu begitu cepat, seperti gerakan memanjat yang harus dilakukan seefektif mungkin.
Hendricus Odonk berhasil menuntaskan jejak rintisannya. Ia telah mencapai puncak dinding tegak lurus yang miskin pegangan. Beberapa kali hembusan angin, suaranya memberi tahu bahwa kondisi medan pemanjatan berikutnya tak seekstrim sebelumnya, hanya saja ia belum dapat mengulurkan tali ke bawah karena belum terlihat batang pohon yang cukup besar sebagai penahan ikatan tali.
Termotivasi...’ Benk menyalami Ogun Polo, lalu segera bergerak memanjat. Tak mau berpikir-pikir ulang lagi.
Satu, dua dan tiga gerakan berlangsung mantap, sesekali mengorek-ngorek bekas pegangan atau pijakan rintisan demi menstabilkan posisi tubuh guna memulai balance pemanjatan lebih tinggi lagi... Terus fokus mempertahankan setengah cengkraman jemari di celah kecil dinding tanah berbatu demi hidup yang masih terberi!
Beberapa kali sempat terpleset ringan tetapi dengan sigap refleks tubuh menjangkau keseimbangan, pemanjatanpun berlangsung mulus..... Lebih dari setengah ketinggian dinding tegak lurus berhasil terpanjat.
Sendiri! Tak ada orang lain menolongmu kawan!
Engkau berpikir tentang diri kau sebagai seonggok materi semata, padahal di dalam diri kau tersimpan kekuatan tak terbatas
Ali bin abi thalib RA
Ya, dalam kesunyian penuh ketegangan memanjat ketinggian, berhenti sebentar saja, angan diri cepat sekali menebar keraguan....
Akan selalu ada beberapa langkah ataupun gerakan yang memang takkan mungkin mengharapkan pertolongan orang lain, selain diri sendiri.
Karena itulah nilai petualangan alam terbuka mempunyai nilai lebih! Kita dituntut mandiri mengenal batas diri, mengasah kemampuan diri!
Hups...! Upzs!! Dua gerakan penambah ketinggian posisi diri, berlanjut... Secepatnya Benk melihat lagi peluang-peluang pemanjatan berikutnya di atas ketinggian....
Tangan direntangkan, satu kaki terangkat, didorong ke atas hingga ke celah kecil. Benk mengangkat tubuhnya dengan kekuatan pegangan tangan dan pijakan kaki, satu tangan bebasnya segera menggapai pegangan di atas kepala... Begitu seterusnya! Sesekali guguran tanah dan bebatuan kecil mengganggu pergerakan tubuhnya...... Hemmm...’ Di atasnya, Hendricus Odonk ternyata sedang berjuang...! Hupzz! Hingga beberapa saat kemudian terlihat sebuah lubang kecil di sisi kanan, sepertinya cukup nyaman untuk menempatkan posisi tubuh sambil menunggu Ogun Polo memanjat dan menanti apa yang Hendricus Odonk dapat lakukan dari atas.
Benk berteriak pada Ogun Polo untuk segera memanjat mendekati posisinya, hingga sesaat sebelum rekannya sampai, Benk akan segera melanjutkan sisa pemanjatan.
Benar, bahwa kondisi pemanjatan berikutnya setelah puncak dinding vertikal bertambah mudah karena kontur medan tak setegak di bawahnya. Tetapi, tetaplah terjal, lagi pula tak banyak pepohonan sebagai pegangan pemanjatan. Perlu kehati-hatian ekstra kalau tak mau hidup yang masih terberi, terhenti seketika!
Detik waktu terus merambat...
Beberapa butiran kecil tanah berbatu, kembali hampir menerpa wajah....
Brekkh! Brekghh!! Wusszhhh....!’ Tiba-tiba, seutas ujung tali menggantung di samping kanan remaja resah gunung.
Apel!!!
Hey...!’ Kehidupan indah bersemi kembali.....’
“Thanks guy!” ujar Benk pada leader pemanjatan di atasnya.
Anugerah talipun membuat pemanjatan dapat menggapai puncakan badan punggungan gunung dengan aman dan mudah.
Tubuh-tubuh tegang direbahkan ke medan tanah yang ‘terasa’ datar... Merdeka sekali gerakan-gerakan tubuh tersebut. 3 pendaki sedang menikmati kebebasan langkah petualangan, dan bersyukur atas semua rasa yang terjadi...
Pukul 14.10 Wib...
Waktu berlalu cepat tetapi masih tersisa terang hari untuk melanjutkan perjalanan sunyi. Tak mengikuti arah kemiringan punggungan besar yang mengarah ke Selatan, tetapi melintang menyisiri lerengnya ke arah Tenggara menuju medan lembahan.
Belukar lebat menjadi santapan berikutnya hingga dasar lembah lereng-lereng Selatan Burangrang, untuk kemudian menaikinya kembali menggapai puncakan punggungan berikutnya. Hingga 4 kali melakukan hal yang sama....... Menerabas, merangsek, menjejak medan sunyi! Kejenuhan hinggap, telinga memanas, hati menyepi! Mata memerah pertanda kelelahan yang sangat...
Saatnya menghentikan pergerakan!
Pukul 16.45 Wib.
Menikmati mie instan panas sore hari, begitu nikmatnya... Kelopak mata tersayup-sayup kantuk senyatanya, tetapi keinginan menuntaskan petualangan sesegera mungkin demi bertemu kehangatan keluarga menepis kelelahan yang ada. Bahkan juga keraguan, ketakutan hingga kejenuhan!
Perjalanan potong kompas, melintang turun naik lembah punggungan gunung, mengunjungi dasar lembahan berbelukar lebat, mencumbui dinding punggungan terjal, memberi semua rasa tentang ketakberdayaan diri sekaligus membuka keberdayaan diri yang lain. Ternyata, memang sungguh tak mudah mendaki gunung membuka jalur sendiri! Menyusuri sudut-sudut terasing jarang terjamah orang... Harus selalu ada ruang untuk sebuah keberanian menjadi ketakutan, ruang sebuah ketakutan menjadi keberanian!
1 ketika, di samar keheningan belantara yang memecah...
Sayup-sayup terdengar lantunan sebuah lagu..... Lantunan lagu dari sebuah radio tape. Lagu tentang sebuah menunggu kerinduan Peter Pan yang begitu menggerus hati...
Bila rindu ini masih di diriku
Hadirkan sebuah tanya untukku
Harus berapa lama
Aku menunggumu, aku menunggumu...
Begitu jelas terdengar terbawa angin senja dari seberang lembahan di depan langkah. Terbayang, anak-anak remaja yang sedang berkemah bersama kehangatan api unggun menjelang keramaian malam tiba..... Ugkhh!!! Sementara 3 pendaki resah, masih terbalut kesunyian! Mencari kerinduan!!
Hanya satu lembahan dan punggungan saja sebelum mencapai area hutan pinus di lereng Lawang Angin....
Lantunan ragu kerinduannya Peter Pan usai, lalu terdengar lagu berikutnya.... Tetap dengan irama yang sama! Selalu begitukah hidup ini!? Tiba-tiba keinginan segera menembus Lawang Angin sebagai patokan akhir petualangan sunyi pupus dari dalam hati, entahlah... Susah menjelaskannya saat itu pada rekan pendaki muda!
Namun ketika langkah perjalanan turun gunung diarahkan mengikuti kontur punggungan arah Selatan, menyusuri jalur setapak sunyi, langkah-langkah petualangan tetaplah membara...
Jejak turun gunung di kemiringan medan tanah merah menjadi santapan ringan di hari yang mulai senja. Tanpa keramaian semu! Yang mengganggu jiwa!!!
Tak sampai setengah jam, rimba belantara Selatan Burangrang tertinggalkan, keluar batas vegetasi hutan memasuki alam Perkebunan Cengkeh, hingga area Peternakan Sapi di sebuah desa kaki gunung nan indah.
Desa Kertawangi namanya, benar indah! Memagis pesona jiwa petualangan yang baru saja merasakan sunyinya pelosok-pelosok rimba belantara Burangrang. Seperti metamorfosis surga yang tergambar sejauh mata memandang bumi.
Anugerah senja bagi petualangan sunyi!
Jalan setapak berliku, petak-petak kebun sayur mayur hijau tertata rapi, berundak-undak teraliri air sungai pegunungan maha jernih. Setiap rumah hampir semua mempunyai kandang Sapi perahan yang sehat dan gemuk. Cantik sekali warna belang hitam putih sapi-sapi tersebut. Pohon Pepaya berbuah ranum, pohon Jambu Batu berbuah meriah, Tomat merah dan kuning, Selada air hijau nan segar plus kontur alam maha indah sempurna...... Akghhh, di mana lagi mencari kehidupan yang lebih nyaman daripadanya!?
“Surga euy!?” seru Ogun Polo mengungkapkan ketakjubannya.
Remaja resah gunung tersenyum mendengarnya. Terpikir, memang benar ungkapan spontan pendaki muda itu, coba saja datang menjelang senja ke Desa Kertawangi di kaki Selatan Gunung Burangrang...
Desa surga ini tepat di ujung punggungan besar yang terjejaki langkah senja remaja resah gunung, sebagian besar kebun sayur-mayurnya terletak di dasar ngarai raksasa dengan terpagari lereng-lereng terjal punggungan gunung yang memagis jiwa! Unik! Subur tanah negeri senyatanya!
Perkebunan menghijau di lembah dan lereng berlika-liku hingga ujung ngarai punggungan raksasa yang mendekati lereng hutan Pinus area Lawang Angin. Magis sekali, sekaligus menakjubkan asa diri petualangan yang seakan tak mau segera pulang....
Mungkin ini jawaban kenapa remaja resah gunung harus menuruni jalur punggungan sunyi ketimbang harus menyeberangi satu lagi lembah besar untuk menembus lereng hutan Pinus area Lawang Angin...
Ada pemandangan desa indah maha menakjubkan hati dari Tuhan Maha Pengasih & Penyayang!
Arah perjalanan senja dibelokkan ke Timur menuju Lawang Angin...
Menelusuri pematang petak-petak kebun, melangkahi aliran jernih sungai lembahan, mendaki lereng-lereng punggungan, mengagumi pemandangan Ngarai Kertawangi, menyaksikan penduduk desa tersenyum ramah menunggu malam di sekitar rumah dan pekarangan....
Rona-rona pipi yang putih kemerahan, khas anak desa kaki gunung.... Ehhmmm! ..... Anugerah Tuhan termurni saat anak-anak negeri tersebut tersenyum!
Benk dan sahabat gunungnya sebenarnya amat lelah, tetapi semua itu tertutupi oleh pemandangan senja ngarai raksasa Kertawangi. Begitu membumi! Menyaksikan puncakan-puncakan Burangrang, melepas pandangan ke kehijauan rimba belantara gunung yang tersisa, mengagumi benteng tangguh penghalang kehancuran alam Bandung Utara yang sejuk.....
Diam-diam, di antara sela istirahat akibat sesaknya nafas pendakian lereng-lereng terjal, menikmati jauh pemandangan titik-titik kecil manusia dan alam pegunungan.... Terasa, bergitu kecilnya diri manusia!!! Sekaligus membangkitkan rasa hati makin mencintai alam gunung-gunung Sunda Purba.
Untuk Alam Sunda Purba... Harus ada perhatian lebih dari sekedar masa kini!!!
Melintas tanjak di jalan setapak punggungan panjang yang langsung mengarah ke Lawang Angin, melewati villa mungil AA Gym yang tenar bersahaja, melalui sebuah area pemeliharaan Kuda, menapaki luasnya perkebunan Kentang, Tomat, Sawi, Wortel dan Brokoli. Embun senja yang menempel di daun tanaman perkebunan menentramkan jiwa.........! Sungguh, tak perlu jauh-jauh mencari ketentraman jiwa, di Lawang Angin dekat warung Abah Kumis sisi Tenggara gunung Burangrangpun para pendaki dapat dengan mudah menemuinya...
Harmoni alam Sunda Purba terus menebar magis...
Jejak ketegaran kaki petualang telah menapak kembali di sebuah warung kaki gunung. Sepoci teh hangat tertuang ke dalam gelas, glekk!! Nikmat sekali irama senja yang meremang malam. Wusssszzz!! Lawang Angin mengaura dingin malam hari........ Beberapa ‘pendaki’ remaja berlalu lalang. Entahlah, apakah mendaki puncak tertinggi gunung atau sekedar kemping di hutan Pinus kaki gunung... Menciptakan kehangatan jiwa menjadi keinginan masing-masing manusia!
Sedangkan kini, giliran 3 sahabat pendaki ingin segera membagi kedamaian jiwa ke ruang kehangatan keluarga di rumah.
Pulang..... Balik Bandung!
“Nuhun Bah....!”
Mencintai Tanah Air tak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan.
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat bila ia mengenal akan objeknya dari dekat. Mencintai Tanah Air
Pertumbuhan jiwa yang sehat dari anak bangsa harus berarti pula pertumbuhan fisik yang kuat, karena itulah kami mendaki gunung!
- Soe Hok Gie -
Kudatangkan tubuhMu
116º15” BT. 0º56”LS
Langkahku semakin karam
Di antara basah humus
Arungi belukar paya
Belantara surutkan hatiku
Hari demi hari ku
Sibakkan jalan
Kuterjang kegelapan
Turuti berkas sinar
Temukan.... WajahMu
Terjerat sudah tubuhku
Di antara duri rotan
Turuni jeram berkabut
Kerinduan merampas pikiranku
Aku harus jalani
Paruh lakon ini
Di tengah bias angin,
Dan kenyataan hidup
Kugenggam .... Parangku
Di sini di belantara
Di lingkar garis bumi
Kudatangkan tubuhMu
Lewat bara api unggun
Harry Suliztiarto